Ini Jawaban BKSDA Yogyakarta Soal Konflik Monyet Ekor Panjang!

Reading time: 2 menit
Macaca fascicularis. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta menegaskan, tidak memanfaatkan konflik satwa ekspor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk tujuan ekspor.

Sebelumnya, memang terjadi konfik monyet ekor panjang dengan masyarakat. Bahkan terjadi berkepanjangan. BKSDA Yogyakarta sempat menangkap 300 ekor untuk keperluan ekspor. 

Pemanfaatan monyet ekor panjang untuk tujuan model dalam riset medis bukanlah hal baru. Indonesia menjadi eksportir monyet untuk riset ini. 

Namun, pada tahun 2022, rencana ekspor 1.000 ekor monyet urung dilakukan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengeluarkan larangan. Alasannya, belum adanya dasar ilmiah terkait survei populasi dan persebaran monyet ekor panjang di Yogyakarta.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta, Muhammad Wahyudi kepada Greeners menegaskan, tak pernah mengatakan konflik satwa liar sebagai pembenaran penangkapan monyet untuk kebutuhan ekspor.

Akui Sering Terima Aduan Konflik Monyet Ekor Panjang

Ia tak memungkiri, BKSDA Yogyakarta sering menerima pengaduan terkait gangguan monyet ekor panjang di permukiman dan konflik serangan ke lahan pertanian masyarakat. Pihaknya pun berusaha mencari solusinya.

Pertemuan pertama pada 11 Januari 2023 di Aula Suaka Margasatwa Paliyan Gunungkidul. Lalu, pertemuan kedua pada Kamis, 19 Januari 2023 yang membahas terkait rencana konservasi satwa lokal. Rapat tersebut melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah daerah hingga lembaga terkait.

“Dalam dua kali pertemuan tersebut BKSDA Yogyakarta tak pernah menyampaikan bahwa konflik monyet ekor panjang ini menjadi dasar untuk mengusulkan ekspor,” katanya baru-baru ini.

Dalam pertemuan tersebut ada rekomendasi penanganan jangka pendek maupun jangka menengah. Beberapa di antaranya kajian demografi, perilaku, habitat, populasi, dan sebaran koloni monyet ekor panjang.

Selanjutnya, penyediaan tanaman buah-buahan sumber pakan monyet ekor panjang dan membuat barrier alami. Kemudian menentukan kawasan penyangga dan jenis tanaman yang menjadi sumber pakan monyet.

Selain itu mengubah pola pikir masyarakat terkait jenis tanaman, mengusir monyet ekor panjang dengan suara keras, hingga mengembalikan fungsi Suaka Margasatwa Paliyan sebagai habitat monyet.

Ia juga membantah bahwa monyet ekor panjang saat ini kelebihan populasi. Namun, ia memastikan akan melakukan survei populasi monyet ekor panjang yang ada di Yogyakarta saat ini.

Monyet Ekor Panjang

Monyet Ekor Panjang atau Macacca fascicularis kerap dipelihara dan diperdagangkan secara bebas. Foto: Shutterstock

Survei Populasi Krusial

Sementara itu, Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amir Hamidy menilai, penetapan kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar periode tahun 2022 mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: SK.2/KSDAE/KKH/KSA.2/1/2022 pada 5 Januari 2022.

Namun, khusus penetapan kuota jenis kera ekor panjang masih belum ada. Ini menyusul kebutuhan survei populasi dan penyebarannya.

“Monyet ekor panjang untuk kebutuhan ekspor kepentingan biomedis ini ada yang berasal dari penangkaran dan alam. Wajib melakukan survei populasi karena ini menjadi dasar kebijakan. Jadi wajar bila BRIN mempertanyakan,” imbuhnya.

Monyet ekor panjang mempunyai peran penting, bermanfaat untuk manusia dalam menghadapi berbagai virus, termasuk Covid-19. Oleh karena itu, monyet tak asal tangkap dan ekspor. Tapi harus memastikan kesehatannya, termasuk bebas dari berbagai virus. 

Melansir iucnredlist.org, populasi monyet ekor panjang akan menurun hingga 40 persen sekitar 42 tahun lagi. Penurunan populasi ini terjadi di beberapa negara seperti Kamboja, Laos dan Bangladesh yang mencapai 50 persen dalam waktu 10 tahun terakhir.

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top