Alih Fungsi Hutan Picu Konflik Satwa Liar dan Manusia

Reading time: 3 menit
Satwa liar yang kehilangan habitatnya karena alih fungsi akan bermigrasi ke permukiman warga. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Konflik manusia dan satwa liar saat ini marak terjadi. Alih fungsi dan konversi lahan yang tidak terkendali membuat satwa kehilangan habitatnya di alam. Satwa kemudian masuk ke permukiman warga.

Praktisi Konservasi Wawan Ridwan mengatakan, pada dasarnya satwa berada di habitat alamnya maka perilakunya tak berubah. Namun, ketika pohon ditebang dan habitat mereka dirusak maka terjadilah perubahan perilaku.

“Itulah kenapa banyak gajah hingga harimau keluar ke kebun masyarakat, memangsa kambing, babi hingga manusia. Habitat mereka sudah tak ada, mangsa mereka tak ada lagi,” katanya di sela-sela acara Biodiversity Warriors (BW) in Training “Lika Liku Menjadi Kepala Taman Nasional”, Jumat (11/11).

Acara ini KEHATI gelar dalam rangka memperingati Hari Cinta Satwa dan Puspa (HCPSN) 2022.

Alih fungsi hutan kerap memicu konflik manusia dan satwa liar. Pembukaan lahan ini untuk perkebunan, pertanian, permukiman serta pembangunan infrastruktur. Imbasnya, tak hanya berdampak pada hilangnya habitat satwa, tapi pemecahan habitat hingga penurunan kualitas habitat.

“Akhirnya akan mengancam keberlanjutan satwa dan ekosistem di dalamnya,” ucapnya.

Hutan yang rusak menyebabkan satwa liar kehilangan habitatnya. Rusaknya hutan juga memicu munculnya penyakit menular baru dari satwa. Foto: Shutterstock

Konflik Satwa Liar Sudah Berlangsung Lama

Konflik satwa liar bukanlah hal baru. Jauh saat Wawan menjadi Kepala Taman Nasional Komodo tahun 80-an, konflik satwa kerap kali terjadi. Gajah dan harimau merupakan satwa dengan wilayah jelajah yang sangat luas.

Wilayah jelajah kedua satwa ini bahkan hingga lintas provinsi. “Karena mereka tak mengenal batas wilayah administratif seperti manusia. Jadi mereka bisa masuk ke perkampungan penduduk,” ungkapnya.

Dalam hal ini peran taman nasional sangat penting untuk menjaga kawasan. Utamanya, memastikan tak ada konversi lahan ilegal sehingga mengancam ruang hidup satwa.

Penting, sambung dia bagi kepala taman nasional dan timnya melakukan patroli rutin, minimal seminggu sekali untuk mengantisipasi konflik satwa hingga perambahan kawasan hutan.

“Jadi kalau tiba-tiba sudah terbuka satu hektare lahan bisa disimpulkan bahwa tak ada petugas yang patroli. Secara logika konversi satu hektare lahan bisa dua hingga tiga bulanan dikerjakan dua petani,” paparnya.

Ia juga mengungkap, konflik manusia dan satwa liar turut menyebabkan kerugian, baik bagi masyarakat maupun satwa liar itu sendiri sehingga menurunkan populasi. Gajah banyak yang mati karena terpaksa dibunuh. “Manusia dan satwa liar harus hidup berdampingan karena semakin terbatasnya ruang habitat satwa itu sendiri,” kata dia.

tn komodo

Taman Nasional Komodo. Foto: wikimedia commons

Peran Penting Taman Nasional

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan angka deforestasi bersih pada tahun 2019-2020 seluas 115.459 hektare (ha). Sementara, luas kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2020 mencapai 296.000 ha juga menyebabkan deforestasi 1.100 ha.

Selain ancaman ruang habitat yang terdegradasi, sambung dia ancaman lain yakni populasi mangsa hingga sumber air yang menurun. Oleh sebab itu butuh kolaborasi berbagai pihak, termasuk masyarakat setempat untuk menjaga habitat satwa liar.

Tak sekadar konservasi, taman nasional memiliki fungsi untuk memastikan keberlanjutan peluang ekonomi masyarakat di sekitarnya. Namun, alih-alih mendapat keuntungan dari kunjungan wisatawan, penguasaan kawasan oleh investor mengancam keberlanjutan kehidupan biodiversitas dan masyarakat sekitar.

“Hati-hati membangun infrastruktur di dalam kawasan taman nasional. Seperti Pulau Komodo itu kan pulau kecil dengan keterbatasan air. Jika pembangunannya tak hati-hati maka berpengaruh ke biodiversitasnya,” kata dia.

Selain itu, pembangunan infrastruktur di dalam kawasan taman nasional ini sangat merugikan masyarakat setempat. Wawan menyayangkan, saat ini, banyak tempat penginapan dan restoran di sekitar taman nasional bukan milik warga lokal.

“Tak ada kesempatan bagi masyarakat lokal. Karena biasanya pemilik hotel sekaligus turut memiliki akses kendaraan. Ini menyulitkan masyarakat setempat,” kata dia.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top