Koalisi Masyarakat Sipil: RUU EBT Harus Fokus pada Energi Terbarukan

Reading time: 4 menit
Koalisi Masyarakat Sipil: RUU EBT Harus Fokus pada Energi Terbarukan
Koalisi Masyarakat Sipil: RUU EBT Harus Fokus pada Energi Terbarukan. (Ilustrasi: Shutterstock).

Jakarta (Greeners) – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) memasuki tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi VII DPR-RI. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih menyatakan, rancangan tersebut sangat penting untuk menciptakan mekanisme pasar bagi energi terbarukan di Tanah Air.

Jannata Giwangkara, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), menerangkan, dari 13 negara di Asia Pasifik, sembilan negara sudah lebih dulu memiliki undang-undang energi terbarukan. Untuk itu, ia berharap pembahasan RUU EBT  yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak kalah progresif dengan pembahasan dan penyelesaian RUU Cipta Kerja.

Lebih jauh, Jannata mengapresiasi sejumlah instrumen dalam draf RUU EBT. Instrumen yang dimaksud antara lain Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET) dan Sertifikat Energi Terbarukan (SET). Kedua instrumen ini ia nilai dapat menciptakan dan mengakselerasi jumlah permintaan energi terbarukan yang stagnan, bahkan menurun dalam beberapa tahun terakhir.

“SPET mewajibkan badan usaha energi untuk membangun atau memproduksi energi terbarukan dari portofolio yang sudah ada. Misalnya, perusahaan batu bara saat ini sudah mengembangkan lini bisnis energi terbarukan. Sementara SET untuk mekanisme jual beli produksi energi terbarukan,” kata Jannata dalam diskusi media “Urgensi Energi Bersih dalam RUU EBT”, Rabu, (23/09/2020).

RUU EBT Diharapkan Pacu Capaian Target Bauran Energi Terbarukan 

Jannata juga menekankan pentingnya RUU EBT untuk pemenuhan target bauran energi. Ia menyebut target bauran energi terbarukan pada energi primer sebesar 23 persen pada 2025. Pemenuhan target bauran signifikan dalam target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29-41 persen pada 2030. Target penurunan GRK ini adalah komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris.

Sayangnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat lamban. Pada 2018, lanjut Jannata, pengembangan energi terbarukan hanya mencapai 8,6 persen. Salah satu faktor leletnya pengembangan energi terbarukan adalah kesenjangan kebijakan dan regulasi.

“Porsi energi fosil harus ditekan agar bauran energi terbarukan meningkat. Tahun 2020 dapat menjadi momentum penentu dan titik balik bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan. Baik untuk mencapai target nasional maupun regional,” kata dia.

Baca juga: Cyanobacteria Sebabkan Kematian Ratusan Gajah di Botswana

Capaian Target Bauran Energi Terbarukan Lamban

LSM: Capaian Target Bauran Energi Terbarukan di Tanah Air Lamban. (Ilustrasi: Shutterstock).

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pencantuman Nuklir dalam RUU EBT

Lebih jauh, Jannata menegaskan RUU EBT harus fokus pada energi terbarukan. Ia pun mengingat kembali proses penyusunan RUU EBT yang telah dimulai sejak Januari 2017. Saat itu, Komisi II DPD RI mengadakan RDPU dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).

“Untuk Indonesia, pemerintah telah lebih dahulu menerbitkan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, ketimbang mengatur energi terbarukan secara umum. Sehingga menjadi semakin urgen memiliki UU tersendiri untuk energi terbarukan dalam era transisi energi dan dekarbonisasi,” ujar Jannata.

Menggemakan hal yang sama, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menolak nuklir dan energi baru berbasis energi fosil dalam RUU EBT. Lebih jauh, Koalisi menjelaskan, draf RUU EBT membagi dua jenis sumber energi: sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Nuklir diklasifikasikan sebagai sumber energi baru, sementara energi matahari, angin, air, biomassa masuk dalam kategori sumber energi terbarukan.

Menyorot Risiko Pemanfaatan Nuklir di Indonesia

Berkomentar dalam topik yang sama, Mahawira Singh Dillon, peneliti Yayasan Indonesia Cerah, menyebutkan sejumlah risiko pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Pertama, Indonesia terletak di kawasan cincin api yang sangat aktif secara tektonik sehingga rawan bencana gempa bumi dan tsunami.

“Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu operasional PLTN. Kita semestinya bisa belajar dari kasus PLTN Fukushima di Jepang,” ujar Wira.

Kedua, penyimpanan limbah PLTN memerlukan lokasi stabil dan kedap air. Menurut Wira, menentukan lokasi penyimpanan limbah nuklir di Indonesia sangat berisiko. Fasilitas penyimpanan limbah nuklir harus memperhatikan potensi terjadinya kebocoran akibat aktivitas tektonik. Bila limbah nuklir bocor ke dalam air tanah, ujarnya, dampaknya akan sangat berbahaya.

Ketiga, nuklir dalam RUU EBT ia nilai sebagai langkah kontraproduktif. Pasalnya, pemuatan nuklir tidak mendukung asas keberlanjutan, ketahanan energi nasional, serta asas kedaulatan dan kemandirian yang dicantumkan sebagai prinsip dasar penyusunan RUU EBT.

“Indonesia hanya memiliki pasokan uranium untuk mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas 1.000 MWe selama enam hingga tujuh tahun. Jika Indonesia bersikeras menjadikan nuklir sebagai sumber energi baru, tidak butuh waktu lama sebelum kita menjadi bergantung pada impor uranium dari luar negeri,” ujar Wira.

Baca juga: 60 Tahun Hari Tani: Momentum Gerakan Rakyat untuk Lingkungan

Potensi Energi Terbarukan Tanah Air Melimpah

Potensi Energi Terbarukan Tanah Air Melimpah. (Ilustrasi: Shutterstock).

Potensi Energi Terbarukan Tanah Air Melimpah

Wira pun menegaskan berlimpahnya sumber energi terbarukan di Tanah Air. Menurutnya, dengan teknologi dan inovasi yang terus berkembang, sumber energi terbarukan dari matahari, angin, air, biomassa, dan energi panas bumi dapat dimanfaatkan dari daerah perkotaan hingga area terpencil.

Berbicara pada acara yang sama, Indra Sari Wardhani, Energy Project Lead, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, juga menggaungkan tingginya potensi energi terbarukan Tanah Air.

“Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat melimpah dan tersebar di seluruh Indonesia. Namun, pemanfaatannya belum optimal. RUU EBT seyogianya menjadi payung hukum untuk dapat menggantikan peran energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat,” ujar Indra.

Selanjutnya, Indra menyebutkan hasil analisis dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menggarisbawahi pentingnya  road map transisi energi nasional yang memiliki kekuatan hukum. Peta jalan ini, ujarnya, mengikat semua dokumen pemanfaatan dan alokasi semua jenis sumber energi.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top