Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengeluarkan hasil analisis kebakaran lahan dan hutan yang menunjukkan peran korporasi, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan dalam tragedi asap yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia. Hasil analisis ini diklaim menunjukkan jejak api grup-grup usaha yang difokuskan pada lima provinsi yang mengalami dampak terparah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Edo Rakhman, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahi menerangkan bahwa hasil analisis dari lima provinsi yang dilanda asap terparah menunjukkan kalau mayoritas titik api yang ditemukan di tahun ini berada di dalam konsesi perusahaan. Terutama di wilayah HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 5.669 titik api dan perkebunan kelapa sawit sebanyak 9.168 titik api.
Menurut Edo, hasil hamparan titik api dengan konsesi perusahaan menunjukkan bahwa di empat provinsi, yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah, perusahaan grup Wilmar dan Sinarmas yang paling banyak berkontribusi terhadap keseluruhan jumlah titik api.
“Grup Wilmar itu ada 27 perusahaan dan Grup Sinarmas ada 19 perusahaan,β jelas Edo saat menyampaikan pemaparannya pada konferensi pers bersama wartawan di Jakarta, Kamis (01/10).
Selain itu, Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau juga menyatakan bahwa hasil analisis yang dilakukan oleh Koalisi Eyes of the Forest di mana Walhi Riau menjadi bagiannya, menunjukkan, grup Asia Pulp and Paper dan RGM/APRIL (industri HTI) merupakan grup dengan jumlah perusahaan yang terbanyak menyumbang titik api.
“Mereka (APP dan APRIL) masing-masing ada enam perusahaan yang menyumbang titik api terbanyak,” tambahnya.
Senada dengan Edo dan Riko, Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumatera Selatan juga mengklaim bahwa aktor utama pelaku pembakaran hutan adalah korporasi, sehingga negara harus memastikan tanggung jawab penuh dari pihak perusahaan. Jika negara ingin tanggung jawab terhadap masyarakatnya, lanjutnya, maka negara juga mesti lebih berani menuntut tanggung jawab perusahaan atas dampak buruk kebakaran dan asap terhadap masyarakat dan memastikan pemulihan lingkungan.
Dikonfirmasi di tempat berbeda, Manajemen Grup Sinar Mas membantah tuduhan yang menyebutkan adanya perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Sinar Mas terlibat dalam aksi pembakaran hutan. Managing Director Grup Sinar Mas, Gandhi Sulistyanto menegaskan bahwa sejak awal grup Sinar Mas termasuk dengan anak usahanya, Asia Pulp and Paper (APP) telah menerapkan kebijakan zero deforestation atau tidak membuka hutan dengan cara yang sembarangan.
Gandhi juga menyatakan kalau pihaknya tidak akan segan-segan untuk memutus kontrak perusahaan pemasok kayu pabrik bubur kertas milik konglomerasi itu apabila memang terbukti bersalah membakar hutan.
“Kontrak kerja sama antara subholding Asia Pulp and Paper (APP) dengan para pemasok kayu memuat larangan membakar hutan. Bila ini dilanggar maka APP akan menghentikan kontrak kerja sama dengan mereka,” tegasnya.

Direktur Pelaksana Keberlanjutan Asia Pulp and Paper (APP), Aida Greenbury. Foto: greeners.co/Danny Kosasih
Direktur Pelaksana Keberlanjutan APP, Aida Greenbury pun menyatakan hal serupa. Ia bahkan mengaku kalau kebakaran hutan membuat APP merugi karena pasokan kayu berkurang. Menurut Aida, investasi perusahaannya untuk HTI sudah lebih dari US$ 100 juta dolar. Sedangkan untuk penanaman kembali atau reforestasi hutan lindung, APP mengalokasikan dana US$ 500-1.000 per hektare. βJadi tidak logis kalau kami harus membakar hutan kami sendiri,β pungkasnya.
Sebagai informasi, menurut catatan Walhi, hingga tahun 2014 saja, 4 (empat) sektor industri ekstraktif (logging, perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang) telah menguasai sekitar 57 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Penguasaan ini dibarengi praktik buruk pengelolaan konsesi, salah satunya adalah tindak pembakaran hutan dan lahan gambut untuk kemudahan pengembangan produksi.
Bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama yang beroperasi di lahan gambut. Dalam periode Januari β September 2015 terdapat 16.334 titi api (LAPAN) atau 24.086 titi api (NASA FIRM) untuk lima provinsi; Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di lima provinsi sampai di bulan September 2015, Walhi menemukan bahwa titi api berada di dalam konsesi perusahaan; Kalimantan Tengah 5.672, Kalimantan Barat 2.495, Riau 1.005, Sumatera Selatan 4.416, dan Jambi 2.842.
Kebakaran hutan dan polusi asap juga telah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kesehatan masyarakat. Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat polusi asap setidaknya telah mencapai jumlah yang sangat besar, yaitu Jambi 20.471 orang, Kalimantan Tengah 15.138 orang, Sumatera Selatan 28.000 orang, Kalimantan Barat 10.010 orang.
Penulis: Danny Kosasih