LIPI: Tidak Mudah Meneliti Sumber Sampah di Laut

Reading time: 2 menit
sumber sampah
Ilustrasi. Foto: alainbachellier/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Pada awal tahun 2015, profesor teknik lingkungan dari University of Georgia, Amerika Serikat, Dr. Jenna Jambeck bersama timnya mempublikasikan hasil penelitian di jurnal Science yang menyebutkan bahwa Indonesia masuk dalam daftar 5 teratas negara penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan dengan urutan Tiongkok, Indonesia, Filipina, Vietnam dan Srilanka.

Data tersebut diperoleh melalui pemodelan dengan memasukkan faktor skala pembangunan ekonomi negara, jumlah rata-rata sampah yang diproduksi, cara pengolahan sampah, serta jumlah populasi yang bermukim di radius 50 km dari garis pantai. Sedangkan dari mana asal sampah-sampah tersebut masih sulit untuk diketahui. Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Zainal Arifin mengatakan bahwa tidak mudah untuk melakukan penelitian tentang arus laut yang berkontribusi membawa sampah ke Indonesia.

BACA JUGA: Sampah Plastik dan Illegal Fishing Masalah Paling Besar di Laut Indonesia

Namun, menurut hipotesis yang dihimpun dari informasi dan fenomena yang terjadi, sampah plastik yang masuk melalui arus laut sangat tergantung pada musim. Di Indonesia sendiri, terangnya, arus yang paling dominan adalah arus lintas Indonesia (arlindo) yang bergerak dari Samudera Pasifik Barat ke Samudera Hindia. Arus tersebut cukup kuat terutama pada kedalaman 100 meter ke bawah. Dari arlindo tersebut, ia menduga bisa saja sampah-sampah yang ada di Samudera Pasifik terbawa hingga ke Samudera Hindia.

“Dari arus lintas Indonesia ini bisa saja itu sampah-sampah yang ada di Samudera Pasifik terbawa ke Samudera Hindia,” ujarnya kepada Greeners, Jakarta, Rabu (16/08).

Menurut Zainal, kemungkinan sampah-sampah yang masuk ke Indonesia berasal dari negara-negara tetangga pun bisa dipahami. Apalagi, kalau sampah-sampah tersebut dibuang dari atas perahu atau kapal-kapal yang tidak mengikuti aturan International Maritim Organization (IMO), terutama pada kapal-kapal tradisional yang ada di negara-negara Asia Tenggara atau Asia Timur.

“Kan banyak kapal-kapal tradisional itu bukan hanya ada di Indonesia; beberapa negara ada. Nah kapal-kapal itu kadang membuang sampahnya asal saja di laut. Bisa juga sampahnya dari negara Asia Timur kalau anginnya bergerak lewat Samudera Pasifik. Ini baru hipotesis, kan enggak mudah menentukan ini sampah dari mana, kecuali kalau betul-betul kelihatan sampahnya, ada tulisan bahasa dari negara mana,” tambahnya.

BACA JUGA: 11 Kementerian Susun Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Sampah Plastik di Laut

Terkait sampah plastik di laut ini, melalui Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN), peneliti Oseanografi LIPI pun telah melakukan beberapa penelitian tentang mikroplastik atau plastik yang terdegradasi dengan ukuran kecil (<5 mm) di laut dalam dua tahun terakhir. Peneliti mengambil sampel sedimen pada tanggal 07 sampai 18 Mei 2015 di pelayaran EWIN 2015, yang merupakan bagian dari kontribusi peneliti Indonesia untuk program Ekspedisi Samudera Hindia Internasional-2, pada 66,8 sampai 2.182 m di bawah permukaan laut.

Analisis mikroplastik dari sedimen dilakukan dengan metode flotasi. Peneliti menemukan mikroplastik di 8 lokasi dari 10 lokasi sampling, sebanyak 41 partikel mikroplastik dengan bentuk butiran (35 partikel) dan serat (6 partikel). Sebagian besar partikel mikroplastik ditemukan pada kedalaman kurang dari 500 m dengan 20 partikel. Penemuan mikroplastik dalam sedimen dari lautan Sumatera bagian barat pada kedalaman lebih dari 2.000 m, menunjukkan bahwa plastik yang dianggap bahan baru dikembangkan (awal abad ke-19 dibuat), telah menyerang wilayah laut, termasuk daerah yang masih asli.

“Ini menegaskan pernyataan bahwa limbah plastik telah menyebar luas ke berbagai wilayah laut dan samudera, termasuk daerah terpencil dan sebagian besar tidak diketahui seperti laut dalam. Selain termakan oleh ikan, yang bahaya lagi mikroplastik itu kadang-kadang terselimuti atau terikat dengan bahan bahan pencemar lainnya seperti limbah tumpahan minyak,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top