Manusia Bisa Makin Konsumtif Imbas Kepraktisan di Era Modern

Reading time: 3 menit
Kepraktisan di era modernisasi dapat meningkatkan sikap konsumtif manusia. Foto: Freepik
Kepraktisan di era modernisasi dapat meningkatkan sikap konsumtif manusia. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Era modernisasi telah melahirkan berbagai produk industri. Mekanisme yang dibuat oleh industri saat ini juga memudahkan konsumen dalam mendapatkan sebuah produk dengan cepat. Kepraktisan ini dapat meningkatkan sikap konsumtif manusia dalam mengonsumsi atau menggunakan produk secara berlebihan.

Pendiri Yayasan Bumi dan Langit, Iskandar Waworuntu mengatakan, di bulan Ramadan ini seluruh umat yang berpuasa juga perlu berniat untuk membatasi diri terhadap produk industrial. Terutama pada makanan, walaupun ini cukup sulit.

“Kita perlu memilih beras organik, makanan organik, makanan yang berkah dibuatnya oleh orang yang kita kenal. Bisa gak? Saat bulan puasa ini tidak makan tepung terigu, gula pasir dan turunannya, seperti tidak makan (olahan) industri yang segala macam ada pewarna dan perasanya. Kalau jadi ibadah, itu merupakan sesuatu kekayaan yang luar biasa tanpa harus merasa eksplisit,” kata Iskandar dalam kegiatan Save Our Planet secara daring, Selasa (19/3).

BACA JUGA: Industri Perlu Tawarkan Produk dan Kemasan Ramah Lingkungan

Gaya hidup seperti ini bisa menjadi sebuah solusi untuk mengembalikan kemanusiaan pada fitrahnya untuk tidak lagi menjadi masyarakat konsumtif. Menurutnya, industri adalah mekanisme yang merampas hak manusia untuk sehat.

“Zaman modern ini telah melucuti dan merampas hingga menghancurkan tradisi kemuliaan dari para leluhur sebelumnya. Pengaruh dari zaman ini membuat manusia tidak lagi bergantung pada ilmu dari para leluhur. Padahal, dahulu kemuliaan itu dipelihara dan dijaga, tapi kebutuhan hidup yang diberikan kepada kita sekarang menjadi berinduk pada industri, hampir semua terpenuhi oleh industri,” jelas Iskandar.  

Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), setiap hari masyarakat menghasilkan sampah makanan (food waste). Bahkan, per tahunnya bisa mencapai 184 kilogram (kg).

Sebanyak 55-60 % berupa sampah makanan konsumsi dan 45-50 % merupakan sampah produksi. Secara ekonomi, makanan yang terbuang bisa mencapai 4-5 % produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Persentase tersebut setara dengan angka untuk memberi makan 61 juta sampai dengan 125 juta orang.

Pendiri Yayasan Bumi dan Langit, Iskandar Waworuntu bicara soal sifat konsumtif manusia. Foto: YouTube Nurul Ashri

Pendiri Yayasan Bumi dan Langit, Iskandar Waworuntu bicara soal sifat konsumtif manusia. Foto: YouTube Nurul Ashri

Residu Bentuk Kegagalan Mekanisme di Era Modern

Sementara itu, salah satu mekanisme yang gagal dalam kehidupan modern, bisa terbukti dengan adanya residu atau sisa sampah. Menurut Iskandar, sampah adalah sisa makanan yang tidak bermanfaat dan tidak sesuai dengan ketentuan Allah.

“Jadi, Allah sendiri di Al-Qur’an mengatakan ‘tidak ada kesia-siaan dalam ciptaanku’. Kalau kita mau memandang makhluk Allah di alam semesta, di bumi ini tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang menjadi sampah dan beban bagi kehidupan lain,” ungkap Iskandar.

Iskandar menambahkan, Allah telah sempurna menata tatanan di bumi ini, hal tersebut menjadi bagian bukti keberkahan Allah. Selain itu, kesempurnaan telah membuktikan bahwa Allah itu menciptakan berkah dalam bahasa modern sustainability atau berkelanjutan.

“Artinya, Allah menciptakan sesuatu yang tidak habis-habisnya dan akan terus berkelanjutan karena berkah dari Allah,” tambah Iskandar.

BACA JUGA: Bank Sampah GESIT Tawarkan Produk Isi Ulang untuk Atasi Plastik

Namun, terdapat bukti bahwa manusia telah menyebabkan kerusakan pada tatanan bumi ini. Misalnya, salah satu sistem di era modern adalah sampah residu yang akan menjadi polutan. Iskandar menegaskan, semestinya polutan tidak boleh ada. Namun, timbulnya polutan saat ini adalah hasil perbuatan manusia yang konsumtif atau berlebihan.

“Karena sikap kita berlebih, kita menimbulkan sesuatu yang menjadi beban bagi kehidupan, termasuk bagi manusia itu sendiri. Ini seperti jebakan yang sedang mengancurkan manusia tanpa kita bisa mengetahui solusinya. Hakikatnya sampah itu wujud ‘iblis’ di bumi,” ujarnya.

Hilangnya Ilmu Kehidupan dari Nenek Moyang

Zaman modern telah menghilangkan ilmu-ilmu kehidupan dari nenek moyang yang mereka wariskan kepada setiap generasi. Padahal, pada zaman nenek moyang atau leluhur, ada mekanisme untuk menjaga kemuliaan dan ilmu tersebut mereka wariskan untuk tetap menjadi bagian hidup.

Mereka dahulu telah mengajarkan ilmu-ilmu seperti cara menanam, adab kepada tanah, sikap terhadap binatang, adab kepada tumbuhan, air, udara dan sebagainya. Hal itu adalah sesuatu yang menjadi sebuah sunah yang mereka wariskan kepada generasi selanjutnya. Sayangnya, semua ilmu itu semakin luntur dan menghilang.

“Mereka (nenek moyang) takut sekali kalau anak mereka tidak menguasai sunah leluhur dalam konteks yang benar. Sebab, mereka tahu bahwa anak keturunan mereka akan terancam dan hancur kalau tidak mendapatkan rida dari alam,” ujar Iskandar.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top