Mengutamakan Lingkungan Hidup di Atas Kepentingan Ekonomi

Reading time: 3 menit
Hari Lingkungan Hidup 2020
Foto: shutterstock.com

Jakarta (Greeners) – Lingkungan hidup kerap diabaikan ketika berhadapan dengan persoalan ekonomi. Pandemi Covid-19 yang saat ini tengah terjadi semestinya menjadi introspeksi. Pembangunan yang tidak menempatkan lingkungan sebagai pondasi utama akan memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan hidup manusia.

Secara global, paradigma pembangunan telah menempatkan isu ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam satu kluster seperti di Sustainable Development Goals (SDGs). Di banyak negara, tiga komponen utama pembangunan ini selalu dipisahkan sehingga terjadi dikotomi pada pembangunan.

Di Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024 juga masih memisahkan antara ekonomi dan lingkungan. Hal ini mengakibatkan arah pembangunan sangat bias pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Terlebih Presiden Joko Widodo mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen per tahun.

Baca juga: Gugus Tugas Covid-19: Herd Immunity Tak Mungkin Terjadi di Indonesia

Praktisi Ekonomi dan Pemerhati Lingkungan Hidup Wiko Saputra mengatakan dengan daya tampung lingkungan yang ada saat ini, target pertumbuhan itu sangat jelas akan mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam. Ia menilai pemerintah masih menempatkan sektor ekstraktif berbasis hutan dan lahan sebagai penggerak pertumbuhan untuk mengejar tujuan tersebut.

“Sehingga kemudahan investasi pada sektor berbasis hutan dan lahan dipermudah lewat revisi undang-undang, seperti UU Minerba yang baru disahkan dan RUU Omnibus Law,” ujar Wiko kepada Greeners, Kamis, (05/06/2020).

Meskipun terdapat regulasi yang ketat, kata dia, dampak kerusakan lingkungan akibat sektor ekstraktif masih sangat besar. Misalnya kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang-ulang terjadi. “Dengan paradigma pembangunan ini, kita akan berada pada fase bahwa ekonomi haruslah yang utama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dicapai dengan segala upaya, meski itu akan semakin menghancurkan lingkungan hidup,” ujarnya.

Menurut Wiko, ekonomi dan lingkungan dapat berjalan berdampingan asal mengacu pada dokumen SDGs yang tidak memisahkan dua aspek tersebut. Dalam konsep pembangunan, model SDGs dapat menjadi panduan dalam menyelaraskan antara ekonomi dan pembangunan. Caranya dengan menata ulang RPJPN dan RPJMN hingga mengubah pola pikir pembangunan nasional dari segi arah, sasaran, dan strategi. Target pembangunan, kata dia, juga harus dirancang dengan menempatkan isu ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam satu kluster yang sama.

Hari Lingkungan Hidup 2020

Foto: shutterstock.com

“Pandemi Covid-19 ini telah menyadarkan kita bahwa negara yang besar ini ternyata rapuh dalam semua aspek saat menghadapi ancaman dampak perubahan iklim. Virus ini telah menunjukkan bahwa sistem pembangunan, sistem pemerintahan, sistem kesehatan, dan sistem sosial kita tidak mampu menghadapi ini,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa Covid-19 merupakan New Emerging Infectious Disease (NEID) dan Re-emerging Infectious Disease (REID) yang disebabkan oleh mutasi dan adaptasi mikroorganisme karena adanya krisis iklim. Menurutnya, di masa pandemi atau pascapandemi pemerintah sebaiknya lebih memperkuat sistem mitigasi dalam menghadapi berbagai ancaman krisis iklim bukan hanya virus.

Para pemimpin dunia, kata dia, juga harus berembuk untuk menata ulang arah pembangunan global yang lebih responsif terhadap isu lingkungan hidup terutama masalah krisis iklim. Jika tidak dilakukan, mutasi mikroorganisme akan terus berlangsung dan risiko penyebaran semakin tinggi. “Lihat saja, dari SARS ke SARS Cov-2 (Covid-19) hanya butuh waktu 10-an tahun mereka bermutasi menjadi virus yang berbahaya,” ucapnya.

Pandangan Antroposentrik

Saras Dewi, Dosen Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, manusia dan lingkungan hidup kerap diasumsikan sebagai sesuatu yang terpisah. Pandangan yang menempatkan manusia di atas lingkungan hidupnya, kata dia, disebut antroposentrik. Artinya menganggap kepentingan ekonomi lebih baik dibandingkan kelestarian alam.

Padahal, kata dia, alam dan lingkungan hidup membentuk pikiran dan mentalitas. Keduanya merupakan suatu kontinuitas alami yang tidak bisa dipatahkan karena terdapat keseimbangan rantai sebab akibat. Hal tersebut menjadi salah satu cara alam bekerja dan sering kali terganggu akibat intervensi manusia.

Baca juga: Teluk Benoa Sumber Pangan Bagi Warga

Ia mencontohkan, salah satu dampak krisis iklim yang terjadi seperti sekarang adalah kepunahan spesies. Pegaruh tersebut sangat besar terhadap keselarasan alam. Dengan adanya keragaman hayati, kata Saras, kehidupan berlangsung secara baik. Namun, jika semakin terkisis, akan muncul suatu permasalahan.

“Jika lingkungan hidup rusak tentunya kita bisa membayangkan bentuk masyarakat dan pola pikir individu yang terpengaruh dari kondisi tesebut,” ucapnya.

Manusia dan Alam Saling Berkaitan

Sistem ekonomi dan modal memandang alam sebagai sumber komoditas atau barang yang dapat diperdagangkan. Padahal leluhur manusia melihat alam sebagai sumber kehidupan dan pembelajaran. Ketika sektor ekonomi menjadi dominan, aspek sosial dan ekologis terputus sehingga semuanya dinilai sebatas materi atau yang menghasilkan uang.

Menurut peneliti Sajogyo Institute, Siti Maimunah, konsep tersebut harus dikoreksi terutama di saat pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) seperti sekarang. Ia mengatakan pagebluk ini menjadi catatan bahwa mengutamakan ekonomi untuk mengeksploitasi alam telah melampaui batas. “(Ketika) ekonomi menjadi panglima itu ongkosnya luar biasa, deforestasi besar-besaran, banjir, hingga spesies yang hilang. Covid-19 memberi pesan bahwa manusia dan alam saling berkaitan sama lain,” ucapnya.

Ia menuturkan, pandangan yang mengutamakan ekonomi dan meninggalkan aspek relasi sosial perlu ditinggalkan. Sejumlah undang-undang yang baru disahkan, kata dia, juga membahayakan kehidupan masyarakat di masa depan karena mendorong krisisk sosial, ekologis, dan krisis iklim. “New normal ini justru dimaknai sebagai new marjinal. Ada marjinalisasi baru yang sedang dilakukan pemerintah lewat regulasi maupu  gugutan lain yang dibungkus new normal,” ujarnya.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top