Daur Ulang Bukan Solusi Utama Tangani Polusi Plastik

Reading time: 4 menit
Ilustrasi polusi plastik. Foto: Dini Jembar Wardani
Ilustrasi polusi plastik. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 kembali menyoroti pentingnya upaya mengakhiri polusi plastik (ending plastic pollution). Meskipun daur ulang sering digadang-gadang sebagai solusi utama, tantangan yang Indonesia hadapi masih sangat besar. Hingga kini, daur ulang belum menjadi solusi yang efektif untuk mengakhiri polusi plastik.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2022, ada sekitar 6,8 juta ton sampah plastik yang Indonesia hasilkan setiap tahunnya. Namun, berdasarkan data National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia tahun 2020, jumlah sampah yang Indonesia hasilkan hanya kurang dari 10 persen jumlah sampah plastik yang kemudian diproses lebih lanjut melalui daur ulang.

Founder Nol Sampah, Hermawan Some, menyatakan bahwa solusi daur ulang untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Di antaranya distribusi pabrik daur ulang yang belum merata, beragamnya jenis sampah plastik, buruknya sistem pengelolaan sampah, proses daur ulang yang kompleks dan berpotensi merusak lingkungan, serta minimnya praktik pemilahan sampah di masyarakat.

BACA JUGA: Festival Rumekso Bumi Kembali Gunakan Energi dari Sampah

Menurutnya, solusi daur ulang bukan hanya soal menemukan cara yang praktis dan cepat untuk mengakhiri polusi plastik, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi masyarakat dan jenis plastik yang beredar saat ini.

“Kenyataannya, daur ulang belum menjadi solusi yang tepat karena jenis plastik yang sangat beragam dan sistem pengelolaan sampah yang belum memadai. Oleh karena itu, solusi paling bijak adalah pengurangan penggunaan plastik dan mendorong penggunaan ulang (reuse),” kata Hermawan dalam wawancaranya bersama Greeners.

Daur ulang bukan solusi tunggal untuk menangani polusi plastik. Foto: Freepik

Daur ulang bukan solusi tunggal untuk menangani polusi plastik. Foto: Freepik

Permasalahan pada Kemasan

Permasalahan daur ulang ini juga tidak hanya terpaku pada masyarakat yang tidak memilah sampah, melainkan juga masyarakat yang belum memahami jenis-jenis plastik yang berbeda. Sebagai contoh, plastik jenis PET mungkin bisa untuk daur ulang, tetapi sering bermasalah karena label yang menempel pada kemasan terbuat dari bahan berbeda seperti PP, PVC, dan lainnya.

Selain itu, tutup botol yang biasanya terbuat dari HDPE, label, dan lapisan laminasi dari kertas, plastik, atau foil menambah kompleksitas daur ulang. Bahkan, warna dan jenis cetakan pada kemasan turut memengaruhi keberhasilan proses daur ulang. Ketika label atau tutup menggunakan bahan berbeda, maka harus dipisahkan secara manual, yang tentu menambah waktu dan biaya.

“Hal ini menunjukkan bahwa masalah bukan hanya pada pemilahan, tetapi pada desain kemasan itu sendiri. Perlu regulasi yang mewajibkan standar kemasan berdasarkan fungsi dan jenis produk. Misalnya, makanan dan minuman harus menggunakan plastik dengan lapisan tertentu yang seragam dan bisa untuk daur ulang,” tambah Hermawan.

Redesain Kemasan Mudahkan Daur Ulang

Hermawan menegaskan bahwa redesain kemasan menjadi kunci untuk memudahkan daur ulang. Contohnya seperti botol minuman yang tidak menggunakan label, tetapi dicetak langsung pada botolnya.

Menurutnya, hal sederhana ini bisa mengurangi biaya pemilahan dan pencucian. Apalagi, pencucian adalah bagian paling mahal dari proses daur ulang.

“Jika sampah sudah terpilah dari rumah tangga, maka tidak perlu pencucian intensif. Namun, kenyataannya banyak sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan harus melalui proses pencucian yang mahal dan memerlukan instalasi pengolahan air limbah (IPAL),” ujarnya.

Selain itu, distribusi pabrik daur ulang juga sangat terbatas dan belum merata. Sebagian besar pabrik daur ulang kebanyakan di wilayah Jawa. Hal ini menyulitkan daerah-daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua yang harus mengirimkan sampah ke Jawa dengan biaya logistik sangat tinggi.

BACA JUGA: Sentuhan Nuklir Ciptakan β€œWajah Baru” Sampah Plastik

Akibatnya, harga sampah yang dibeli dari daerah-daerah tersebut menjadi sangat rendah. Sehingga, tidak menarik bagi masyarakat untuk mengumpulkannya. Masalah lingkungan juga muncul dari proses daur ulang itu sendiri. Sebab, butuh banyak air, energi, dan infrastruktur.

“Bahkan, ada anggapan jika sebuah pabrik daur ulang plastik untung, bisa jadi dia tidak menjalankan IPAL dengan benar atau melanggar aturan lingkungan,” kata Hermawan.

Hermawan mengungkapkan bahwa saat ini masih ada beberapa pabrik kecil yang tidak memiliki instalasi pengolahan limbah yang memadai. Bahkan, mereka masih menggunakan tungku pembakar tanpa teknologi pengendalian emisi yang baik.

Ketatkan EPR

Menurut Hermawan, solusi nyata untuk meningkatkan efektivitas daur ulang adalah penerapan EPR (Extended Producer Responsibility), bukan sekadar CSR. Produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah kemasan yang mereka hasilkan.

Aturan tersebut juga sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Sayangnya, dari ribuan produsen di Indonesia, hanya sekitar 30-40 yang telah menyusun peta jalan pengelolaan sampah.

“Kalau memang ingin mendorong daur ulang, harus ada kebijakan tegas dan insentif dari pemerintah, termasuk regulasi kemasan yang seragam, edukasi masyarakat, pembangunan infrastruktur daur ulang di daerah. Pengawasan juga harus ketat terhadap klaim-klaim produsen. Tanpa itu semua, proses daur ulang akan tetap mahal, tidak efektif, dan merugikan lingkungan,” ujar Hermawan.

Kuatkan Pengawasan dan Edukasi

Sementara itu, sampah plastik saat ini juga semakin banyak ditemukan, tak terkecuali di pesisir. Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengungkapkan bahwa pengangkutan botol plastik dari pulau-pulau kecil masih menjadi tantangan besar.

Direktur Eksekutif PPLH Bali, Catur Yudha Hariani mengungkapkan bahwa biaya transportasi pengangkutan sangat tinggi. Sehingga, tidak ada yang mau mengambil botol-botol itu. Akhirnya, semua berakhir di TPA atau bahkan mencemari laut, sungai, dan lingkungan sekitar.

Provinsi Bali saat ini menjadi salah satu daerah yang sudah mengeluarkan kebijakan untuk menekan laju plastik sekali pakai. Pada tahun 2025 ini mereka instruksi pelarangan plastik sekali pakai, khususnya bagi pegawai pemerintah daerah (Pemda), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan siswa di sekolah.

Kemudian, pada April lalu, Pemerintah Bali menerbitkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025. Dalam surat edaran tersebut, Gubernur Bali, I Wayan Koster secara resmi melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) plastik dengan volume di bawah 1 liter.

Menurut Catur, kebijakan ini patut mendapat apresiasi, namun penting juga untuk dibarengi dengan kampanye dan edukasi secara masif. Selain itu, hal yang lebih penting adalah menekan perusahaan untuk melakukan pengurangan plastik.

“Kita tidak bisa menyelesaikan sisa sampah yang perusahaan hasilkan. Maka, langkah kita adalah pengurangan. Ini pesan penting yang harus ditujukan ke perusahaan,” tambah Catur.

Catur juga mengingatkan agar peraturan-peraturan sebelumnya yang mendorong pengurangan plastik sekali pakai juga harus kembali dioptimalkan. Pemerintah harus menegakkan kembali aturan yang sudah ada, jangan sekadar imbauan.

“Pemerintah juga harus mengalokasikan anggaran untuk implementasi dan pengawasan. Tidak cukup hanya bilang ‘Ayo jalankan’, tapi juga harus ada kontrol, monitoring, dan evaluasi,” ujarnya.

Saat ini, sayangnya anggaran tersebut belum ada. Padahal, pengawasan dan edukasi menjadi hal yang paling penting. Sebab, faktanya di lapangan masih banyak pelanggaran terhadap aturan yang sudah dibuat.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top