Menhut Klaim Sektor Kehutanan Telah Serap Emisi 489.000 Juta Ton Setara CO2

Reading time: 2 menit

Jakarta (Greeners) – Inpres No.10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut untuk dua tahun bakal berakhir pada 20 Mei 2013. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam Seminar Nasional Refleksi Dua Tahun Moratorium Hutan Indonesia yang diselenggarakan oleh Yayasan Perspektif Baru di Jakarta, Selasa (23/4) mengatakan moratorium terbukti menekan laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia secara signifikan sekaligus kawasan konservasi hutan dapat dijaga.

“ Jika kita lihat dari tahun 1996 – 2003, laju deforestasi mencapai 3,5 juta hektar per tahun, namun saat ini menjadi 450 hektar saja. Ini artinya, deforestasi tinggal 15 persen,” katanya dalam sambutan acara yang dibacakan oleh Sekjen Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto.

Menhut mengatakan moratorium hutan menjadi implementasi strategi REDD+. Pemerintah metargetkan penurunan emisi GRK sebesar 26 persen atau 767.000 juta ton setara CO2 pada 2020, atau 41 persen dengan bantuan internasional dan diatas 41 persen bila sudah terbentuk pasar kabon melalui mekanisme REDD+.

“Capaian penyerapan emisi GRK khusus dari sektor kehutanan dan lahan gambut hingga akhir tahun 2012 mencapai 489.000 juta ton setara CO2 atau setara dengan 16,57 persen dari target 26 persen di tahun 2020 nanti. Saya optimis dengan progress report kita. Oleh karena itu saya merasa kebijakan moratorium perlu diperpanjang lagi,” katanya.

Dulu banyak pelaku usaha protes terkait moratorium ini, katanya. Namun kekhawatiran akan terhambatnya investasi di sektor kehutanan tidak terjadi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia justru meningkat sebesar 6,3 persen pada 2012. Ini merupakan catatan pertumbuhan ekonomi terbaik kedua di negara-negara G20 setelah China.

“Moratorium atau penundaan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut seyogyanya untuk menata kawasan hutan agar tidak lagi dieksploitasi. Investasi sektor kehutanan tetap dapat dilakukan di lahan-lahan kritis. Untuk itu agar lingkungan dan kelestarian hutan tetap terjaga, serta pertumbuhan ekonomi dan kemajuan dunia usaha kehutanan tetap berjalan, diperlukan kebijakan tata kelola hutan yang berkelanjutan,” jelas politisi PAN itu.

Oleh karena itu, lanjutnya, peningkatan kebutuhan lahan didorong ke lahan-lahan hutan yang terdegradasi, walaupun di hutan-hutan yang dimoratorium masih memungkinkan untuk transmigrasi dan migas serta jaringan listrik. Investasi di kawasan hutan yang rusak masih bisa melalui izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam, hutan tanaman, industri perkayuan, perkebunan dan pertambangan.

Hutan-hutan alam primer yang dimoratorium bisa dilakukan investasi untuk jasa lingkungan hutan seperti ekowisata, jasa tata air, jasa keanekaragaman hayati, jasa penyimpanan dan penyerapan karbon. Untuk mengatasi kantong-kantong kemiskinan di pedesaan dilakukan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatn, Hutan Desa dan Hutan Rakyat Pola Kemitraan (HRPK) dan disediakan pinjaman dana bergulir melalui Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Hutan (BLU P2H).

Menhut mengatakan kementerian Kehutanan dan kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah harus memperbaiki tata kelola kehutanan, termasuk untuk proses perizinan dengan layanan online, pengaduan masyarakat, konflik tenurial, penyusunan anggaran , pelaksanaan dan pengawasannya. “Saya tetap optimis bahwa moratorium bukan berarti menghentikan kegiatan investasi yang memang diperlukan,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Yuyun Indradi dari Greenpeace Indonesia yang mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia (CSF) menyambut baik keinginan pemerintah untuk melanjutkan moratorium kehutanan Indonesia.

Akan tetapi sesuai platform CSF yang ditegaskan pada Oktober 2010 mengatakan bahwa mereka berkeinginan moratorium berdasarkan capaian sasaran, bukan berdasarkan jeda waktu.

Yuyun mengharapkan melalui moratorium, pemerintah benar-benar melakukan evaluasi tata kelola kehutanan dengan menyelesaikan masalah-masalah di sektor kehutanan seperti hak tenurial masyarakat, tumpang tindih klaim atas kawasan hutan, pemberian izin yang tidak terkoordinasi. (G03)

Top