Peneliti BRIN Temukan Katak Oreophryne Jenis Baru di Sulawesi

Reading time: 3 menit
Katak Oreophryne riyantoi. Foto: BRIN
Katak Oreophryne riyantoi. Foto: BRIN

Jakarta (Greeners) – Tim Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan katak Oreophryne jenis baru endemik Sulawesi. Penemuan katak dengan moncong bulat ini diberi nama Oreophryne riyantoi. Katak berwarna cokelat tersebut ditemukan pada serasah daun hutan pegunungan, di Gunung Mekongga, Sulawesi Tenggara, pada ketinggian 2.528 mdpl.

Penemuan katak jenis baru itu setelah analisis morfologi dan filogenetik oleh tim herpetologi Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mereka adalah Auni Ade Putri, Wahyu Trilaksono, Hellen Kurniati, Amir Hamidy, dan tim Institut Pertanian Bogor, University of California, dan Zoological Community of Celebes Sulawesi Tengah.

BACA JUGA: Penemuan Spesies Baru Dorong Peneliti Gali Keanekaragaman Hayati

Salah satu penemu katak Oreophryne riyantoi, Auni menjelaskan asal-usul nama “riyantoi” pada katak jenis baru ini. Mereka mendedikasikan nama tersebut untuk Awal Riyanto. Ia adalah peneliti senior yang saat ini aktif meneliti di PRBE BRIN. 

“Apresiasi tersebut kami berikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa dalam bidang taksonomi dan konservasi herpetofauna di Sulawesi,” ungkap Auni.

Auni menambahkan, dasar penemuan Oreophryne riyantoi berdasarkan data morfologi dan analisis filogenetik gen 16S rRNA. Bentuk moncong bulat pada tampilan punggung dan lateral katak telah teridentifikasi. 

Katak juga memiliki membran timpani tidak jelas, jarak interorbital sempit, tangan kecil, jari tangan dan kaki tidak berselaput. Kemudian, ada cakram terminal pada jari tangan dan kaki kecil pada katak, kakinya pun sangat pendek. Selain itu, permukaan punggung, kepala, badan, dan anggota badan dengan tuberkel yang tidak teratur.

“Akhirnya, berdasarkan analisis mendalam dan sejumlah pendekatan identifikasi lainnya, tim sepakat dan meyakini spesimen kali ini tervalidasi sebagai spesies berbeda, serta belum memiliki nama ilmiah,” ucapnya.

Katak Oreophryne riyantoi. Foto: BRIN

Katak Oreophryne riyantoi. Foto: BRIN

Temukan Oreophryne riyantoi di Hutan Pegunungan

Peneliti lainnya, Wahyu, mengatakan ada yang menarik dari penemuan katak jenis baru kali ini. Biasanya, genus Oreophryne berada di daerah terestrial, seperti padang rumput terbuka di dataran tinggi atau padang rumput yang didominasi pakis. Namun, uniknya, kali ini tim menemukan Oreophryne riyantoi hidup di hutan pegunungan.

Dalam proses identifikasi, kata Wahyu, tim memeriksa morfologi 50 spesimen Oreophryne Sulawesi dan mengenali spesies berbeda yang belum terdeskripsikan.

BACA JUGA: 146 Spesies Baru Ditemukan Sepanjang Tahun 2022

Wahyu mengumpulkan seluruh spesimen Oreophryne riyantoi pada 20 November 2011, di Gunung Mekongga, Pegunungan Mekongga, Kecamatan Wawo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

“Holotipe tersimpan di Museum Zoologicum Bogororiense (MZB), Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah BRIN, dengan paratipe seekor jantan dewasa dan seekor jantan remaja,” terangnya.

Ada Empat Endemik Oreophryne di Sulawesi

Sementara itu, Amir menjelaskan, penemuan ini terpublikasikan pada 12 Oktober 2023 dalam Jurnal Zootaxa Volume 5353 Nomor 5. Artinya, sudah ada empat spesies endemik Oreophryne di Sulawesi.

Survei dataran tinggi dan penelitian taksonomi tambahan masih diperlukan. Hal ini untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang keanekaragaman Oreophryne dan filogeografinya di Sulawesi.

“Studi taksonomi Oreophryne dan diagnosis spesies baru telah lama terhambat. Sebab, beberapa spesies tidak ada lagi sejak pertama kali dideskripsi, sehingga sebagian besar belum dipelajari,” katanya.

Amfibi Sulawesi Hadapi Ancaman

Secara morfologi dan ekologis, Oreophryne memang beragam. Namun, pada dasarnya bersifat scansorial dan arboreal. Oleh karena itu, banyak deskripsi spesies yang memiliki cakram digital yang membesar dengan kaki belakang yang relatif panjang. Bagian cakram tersebut sebagai adaptasi memanjat yang katak gunakan.

Namun, sayangnya, amfibi Sulawesi yang menghuni dataran rendah hingga pegunungan saat ini menghadapi ancaman berupa hilangnya habitat di pulau ini dan perubahan iklim global.

Oleh karena itu, eksplorasi herpetologi (khususnya taksonomi) tetap menjadi prioritas di wilayah yang terkena dampak. Pekerjaan tersebut juga akan mendukung keanekaragaman hayati dan upaya konservasi para pemangku kepentingan di pulau ini.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top