Pemutihan Sawit Ilegal, Praktik Buruk Tata Kelola Sawit

Reading time: 2 menit
Ilustrasi pemutihan sawit ilegal. Foto: Freepik
Ilustrasi pemutihan sawit ilegal. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pemutihan sawit ilegal jadi praktik buruk pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup semakin nyata. Pada tahun 2023, Pantau Gambut mengidentifikasi ada 3,3 juta hektar luas perkebunan sawit yang hendak pemerintah putihkan.

Berdasarkan identifikasi Pantau Gambut, seluas 407.267,537 hektar (sekitar 13-14%) berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) telah diputihkan. Sebanyak 72% perkebunan sawit di KHG yang akan diputihkan, berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk). Kemudian, 27% berada dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk).

BACA JUGA: Perkebunan Sawit Mulai Rambah Lahan Pangan di Pulau Jawa

Pada konteks ekologi, agenda pemutihan sawit ilegal yang berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) akan semakin memperparah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Selain itu, dampak ekologis juga akan semakin parah.

“Perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah. Termasuk di kawasan hutan yang menjadi area lindung dan konservasi. Sebab, tata kelola pemerintah buruk, tidak ada transparansi, dan penegakan hukum lemah. Bukannya memperbaiki hal tersebut, pemerintah justru melakukan pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra.

Menurutnya, kebijakan ini jelas tidak berpihak kepada lingkungan, masyarakat adat, dan masyarakat tempatan yang terdampak. Sebaliknya, kebijakan ini justru menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan.

32 Perusahaan Beroperasi Ilegal

Berdasarkan temuan Pantau Gambut, dari 32 entitas perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di area KHG, hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya. Sementara, sisa 27 (84%) perusahaan lainnya juga beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

“Hal ini menunjukkan ada pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP No. 71 Tahun 2014, PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko karhutla. Khususnya pada ekosistem gambut,” ucap Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana.

BACA JUGA: Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Dorong Penyerapan CPO

Persoalan lain yang menyertai praktik buruk tersebut berkaitan juga pada karhutla yang terus terjadi di perkebunan kelapa sawit. Data burn area Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015-2020 yang diolah Pantau Gambut, ada sebelas grup korporasi dalam skema pemutihan. Terutama, di area KHG yang memiliki histori luasan area terbakar pada karhutla 2015-2020.

Pemutihan Sawit Bentuk Kejahatan Lingkungan

Sementara itu, TuK INDONESIA juga turut mengidentifikasi beberapa perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pemutihan. Perusahaan sawit tersebut berulangkali terlibat dalam kejahatan lingkungan. Seperti, terjadinya karhutla di Kalimantan Tengah berdasarkan titik apinya.

Dalam studi TuK INDONESIA tahun 2023, kasus di Kalimantan Tengah menunjukkan realisasi pajak dari sektor sawit yang legal pun jauh dari potensi penerimaannya. Dengan demikian, dari potensi pajak Rp6,4 triliun, Kalimantan Tengah hanya mampu merealisasikan Rp2,3 triliun. Hal itu juga merupakan realisasi pajak dari seluruh sektor.

“Pemutihan ini jelas bentuk kejahatan oleh negara. Ini seharusnya menjadi perhatian serius oleh lembaga jasa keuangan. Kemudian, penting untuk mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan. Bahkan, terlibat dalam kejahatan lingkungan (karhutla),” ujar Pengkampanye TuK Indonesia, Abdul Haris.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top