Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut Perlu Pendekatan Sosial dan Sains

Reading time: 2 menit
kawasan perlindungan laut
Project director Sustainable Ecosystem Advanced (SEA), USAID, Dr. Tiene Gunawan (paling kiri) dan science and policy advisor untuk Global Oceans Health Program Todd Capson (paling kanan) berfoto bersama usai memberikan presentasi pada seminar bertajuk Manajemen Konservasi dan Tantangan Global dalam Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan di Institut Pertanian Bogor, Bogor, Rabu (8/11). Foto: greeners.co/Sarah R. Megumi

Jakarta (Greeners) – Pentingnya membangun Kawasan Perlindungan Laut (Marine Protected Area/MPA) menjadi solusi yang dapat mengurangi permasalahan laut yang sedang dihadapi dunia. Hal tersebut disampaikan Todd Capson, science and policy advisor untuk Global Oceans Health Program, dalam presentasinya pada seminar bertajuk Manajemen Konservasi dan Tantangan Global dalam Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat, Jakarta, pada Selasa (7/11) lalu.

“Untuk keberhasilan dalam menanggulangi ancaman terhadap laut dibutuhkan sebuah niat baik, transparansi, kerjasama dan keberanian yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Salah satu alat yang telah terbukti melindungi keanekaragaman hayati laut adalah MPA, dimana memiliki kapasitas untuk memproduksi ukuran dan jumlah ikan yang lebih besar, baik itu di dalam dan di luar MPA,” papar Capson.

Untuk berhasil membangun kawasan perlindungan laut ini diperlukan strategi. Menurut Capson, strategi yang paling efektif adalah melakukan pendekatan mulai dari tingkat pemerintahan, pebisnis, hingga masyarakat lokal, yang tujuannya untuk mengubah persepsi serta meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya MPA.

BACA JUGA: KKP Ingin Ambil Alih Kawasan Konservasi Laut secara Penuh

Senada dengan Capson, Project director Sustainable Ecosystem Advanced (SEA), USAID, Dr. Tiene Gunawan, mengatakan, MPA merupakan alat pengelolaan perikanan dan tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Kawasan Konservasi Sumber Daya Ikan. Menurut Tiene, kawasan perlindungan laut di Indonesia sudah hampir mencapai target yang ditetapkan yaitu mencapai 20 juta hektar pada tahun 2020.

“Tujuh belas juta dari dua puluh juta itu kan besar, tapi isunya bukan area atau daerahnya melainkan bagaimana MPA itu dikelola dengan baik. Menurut saya hal tersebut masih jauh, kita harus berjuang lebih banyak sehingga itu bisa tercapai. Jadi intinya 20 juta bukan hanya dinyatakan saja tapi harus bisa dikelola dengan baik, karena tanpa pengelolaan percuma kita punya MPA,” ujar Tiene saat ditemui dalam acara yang sama yang dilangsungkan di Institut Pertanian Bogor, Bogor, Rabu (8/11).

Di sisi lain, Tiene menyatakan bahwa pendekatan konservasi di masing-masing wilayah atau daerah tidak selalu tepat dan sama. Namun, bukan berarti keberhasilan konservasi di suatu wilayah tertentu tidak bisa diadopsi di wilayah lain.

“Misalnya di Panama. Bukan berarti keberhasilan taman laut di sana tidak bisa kita contohkan di Indonesia. Kita juga bisa melakukan hal yang sama. Namun kembali lagi, setiap daerah dan wilayah Indonesia itu besar sekali dan pendekatan tidak bisa disama-ratakan,” katanya.

BACA JUGA: Blue Carbon Berpotensi Mempercepat Target Penurunan Emisi

Tiene mengibaratkan bahwa MPA yang ada sekarang seperti “low hanging fruit”, dimana semua dilihat dari biodiversitasnya. Padahal untuk membangun sebuah MPA idealnya harus melihat dari potensi ekosistem atau keanekaragaman hayatinya.

Selain itu, perencanaan MPA harus direncanakan berdasarkan sains, baik itu ditingkat lokal hingga yang besar. Pendekatan sains diperlukan untuk menjelaskan mengapa suatu kawasan dilindungi atau kenapa harus dilindungi jika tidak memiliki manfaat secara ekologis dari segi perikanan dan keanekaragaman hayati.

Sebagai informasi, tahun depan Indonesia akan menjadi tuan rumah Our Ocean Conference (OOC). Konferensi yang tahun ini baru saja dilaksanakan di Malta, mengangkat isu-isu seputar kelautan seperti kawasan perlindungan laut (MPA), perikanan yang berkelanjutan, pencemaran laut, dan dampak terkait cuaca pada laut. OOC juga mengedepankan komitmen terhadap aksi yang diharapkan muncul dari para peserta dan pemangku kepentingan di seluruh dunia.

Untuk mendukung OOC dan upaya pemerintah Indonesia terkait permasalahan kelautan, Kedubes AS mendatangkan ilmuwan kelautan Amerika Serikat Todd Capson. Selama 12 hari (30 Okt- 10 Nov), Capson berkunjung ke Banda Aceh, Pariaman, Jakarta, dan Ambon. Selama kunjungannya ke Indonesia, ia melakukan diskusi dan berbagi pengalaman mengenai keberhasilannya dalam membangun kawasan perlindungan laut, contoh kasus di Panama dan Senegal. Dialog terbuka ini dihadiri oleh perwakilan lembaga dan instansi dalam negeri, LSM, penggiat lingkungan hidup, institusi perguruan tinggi, mahasiswa dan pelajar sekolah.

Penulis: Sarah R. Megumi

Top