Pentingnya Zonasi Pengelolaan Cagar Budaya Borobudur

Reading time: 4 menit
Candi Borobudur
Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Foto: shutterstock.com

Magelang (Greeners) – Penetapan Candi Borobudur sebagai destinasi wisata superprioritas mendorong upaya pengelolaan kawasan menjadi makin ramah kunjungan, sekaligus memacu bangkitnya pariwisata di wilayah setempat.

Terdapat lima zonasi yang digunakan sebagai dasar pemantauan candi sesuai dengan dokumen rencana pengelolaan kawasan warisan budaya dunia itu. Zonasi tersebut mencakup area melingkar sejauh lima kilometer dari candi.

Zona pertama merupakan inti (sanctuary zone) yang berfungsi untuk perlindungan monumen dan lingkungan seluas 0,078 km² dengan pengelolaan oleh Balai Konservasi Borobudur di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Baca juga: HPSN 2020: Mencermati Penanganan Sampah Borobudur

Zona kedua seluas area sekitar 0,87 km² adalah penyangga (buffer zone) yang berfungsi untuk perlindungan lingkungan sejarah dengan tanggung jawab oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sementara zona ketiga hingga kelima, pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Magelang, meliputi zona pengembangan (development zone) sebagai kawasan permukiman terbatas, area pertanian, dan jalur hijau seluas 10,1 km².

Selanjutnya, zona keempat yakni wilayah perlindungan kawasan bersejarah (historical scenery preservation zone) untuk penanggulangan kerusakan peninggalan purbakala yang masih terpendam dengan luas area sekitar 26 km². Terakhir, zona perlindungan kawasan bersejarah dengan luas area sekitar 78,5 km².

Pengembangan Situs

Sebagai pengelola zona pertama, Kepala Seksi Konservasi Balai Konservasi Borobudur (BKB) Yudi Suhartono menyampaikan rencana pengembangan sejumlah situs di kawasan Borobudur sebagai upaya pemerataan pengunjung destinasi wisata internasional itu.

BKB memantau situs yang telah diekskavasi pada Minggu, (25/2/2020). Menurut dia, candi Borobudur, Mendut, dan Pawon beserta dengan kawasannya telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya peringkat nasional.

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa dalam satuan ruang geografis terdapat situs Candi Ngawen, lokasi Yoni Brongsongan, Candi Dipan, Candi Bowongan, Candi Samberan, lokasi Yoni di Plandi, dan makam Belanda (Kerkhoff) Bojong.

“Evaluasi kawasan ini dilakukan juga sebagai salah satu tanggung jawab Balai Konservasi Borobudur yang jadi site manager Borobudur compounds sebagai warisan dunia dan harus melaporkan secara berkala kepada Unesco,” ucap Yudi, Senin, (26/2/2020).

Lebih jauh, upaya itu dilakukan untuk merawat dan menjaga Candi Borobudur dari ancaman kelestarian. Menurut Yudi, ruang geografis situs Borobudur terdesak oleh perubahan tata guna lahan, yaitu perkembangan permukiman dan pertumbuhan bangunan.

Problem itu muncul seiring dengan beralihnya mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor barang dan/atau jasa, dibangunnya menara base transceiver station (BTS) yang mengurangi keelokan visual lanskap, hingga pertumbuhan jumlah wisatawan.

Selama ini, kontrol pada ancaman perubahan juga didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya. “Aturan itu mengatur peruntukan lahan sehingga dapat mempertahankan karakter pedesaan dan tradisional yang saat ini masih dimiliki oleh lanskap budaya Borobudur,” ucapnya.

Pada 2003 dan 2006, Unesco memberikan teguran kepada Pemerintah Indonesia di antaranya terkait dengan tekanan pembangunan yang mengancam kelestarian candi Borobudur.

Kawasan Candi Borobudur

Kawasan Candi Borobudur. Foto: www.greeners.co/Pamuji Tri Nastiti

“Balai Konservasi Borobudur juga fokus pada penyelamatan dan pengamanan juga pelindungan situs-situs di kawasan cagar budaya Borobudur, selain candi Borobudur yang sudah dikelola dengan baik.”

Di sisi lain, kunjungan wisata di Candi Borobudur meningkat setiap tahun. Jumlah pengunjung menembus 4 juta orang per tahun atau 58.000 orang per hari. Kunjungan wisatawan yang menaiki struktur candi mencapai kisaran 4.000 sampai 7.000 orang per jam pada saat musim liburan.

Kunjungan yang cukup besar itu membawa dampak positif dan negatif bagi kelestarian bangunan candi. “Kerentanan terhadap dampak negatif tingkat kunjungan dapat diminimalkan dengan visitor management untuk mengatur dan memecah pengunjung biar tidak terkonsentrasi di area candi saja,” kata Yudi.

Penggalian (ekskavasi) dan penyelamatan sejumlah situs di sekitar Borobudur dilakukan untuk mendata bentuk maupun material yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai data untuk merencanakan strategi pelestarian ke depan.

Kegiatan pemantauan bertujuan untuk mengamati dan memantau aktivitas serta kondisi keterawatan, perubahan lahan dan bentang pandang, juga perubahan fasad bangunan tradisional.

Hasil monitoring berupa catatan dan rekomendasi akan diberikan kepada pihak berwenang yang terkait dengan penataan kawasan di lingkungan cagar budaya Borobudur, yakni wilayah zona tiga.

Terkait dengan keberadaan situs, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda Litbangda) Kabupaten Magelang Sugiyono sempat menyatakan bahwa makin dilindungi dan dikonservasi, maka bangunan cagar budaya memiliki nilai jual kian tinggi. “Candi merupakan bangunan cagar budaya yang harus terjaga keasliannya,” ujar Sugiyono.

Ia berkomitmen untuk tetap mengacu pada Undang-Undang Tata Ruang dalam mengakomodir upaya menggabungkan pelestarian candi dan pemberdayaan untuk kesejahteraan masyarakat.

Sementara, untuk memperkuat kawasan Borobudur sebagai destinasi superprioritas, pemerintah kabupaten membenahi dan memberikan pelayanan kepada wisatawan, di antaranya dengan membangun gerbang pintu masuk ke Borobudur yang akan dikerjakan mulai 2020 ini.

“Usulan dari Kabupaten Magelang sudah masuk dalam Perpres (Peraturan Presiden) No. 79/2019 yang artinya sudah disetujui,” ucapnya.

Pariwisata & Pelestarian

Candi Borobudur telah mengalami pemugaran dua kali sejak pertama kali dibangun pada sekitar abad VII-IX Masehi, yakni pada periode 1907-1911 dan 1973-1983.

Dalam seminar oleh Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada beberapa waktu lalu yang bertajuk Reorganisasi Pengelolaan Kawasan Candi Borobudur, Anggota Tim Cagar Budaya Nasional Marsis Sutopo memaparkan sejumlah masalah yang terjadi di candi Borobudur antara lain daya tampung dan ancaman kelestarian, hingga candi lain di sekitar kawasan yang belum dikelola dengan optimal.

Menurut dia, Candi Borobudur membutuhkan pengelolaan terpadu dan sinergi antara berbagai pihak, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, BUMN, serta pemerintah daerah dengan mempertimbangkan keseimbangan antara aspek pariwisata dan pelestarian. Pengelolaannya disarankan dalam koordinasi satu atap.

“Dengan pengelolaan satu atap, maka pelestarian dan pemanfaatan pariwisata dari Kawasan Strategis Nasional Borobudur dapat seimbang. Satu manajemen tersebut yang juga di bawah pemerintah nasional langsung, sehingga proses pengelolaannya dapat dijamin oleh undang-undang,” ujarnya.

Baca juga: Pemerintah Terapkan Tiga Pendekatan untuk Kelola Sampah pada 2025

Dia juga menyarankan agar pengelolaan kawasan Borobudur memegang prinsip bersatu dan terikat dengan lingkungan budaya. Pelestarian tersebut meliputi perlindungan, pengembangan, serta pemanfaatan untuk dan oleh semua.

Sementara itu, sambutan tertulis Bupati Magelang Zaenal Arifin dalam pembukaan kegiatan ‘Ruwat Rawat 2020’ pada Minggu (9/2/2020) menyatakan bahwa kegiatan budaya itu merupakan upaya pelestarian dan perlindungan pada Candi Borobudur sebagai salah satu destinasi superprioritas.

Menurut bupati, pelestarian cagar budaya Borobudur perlu perbaikan dalam segenap aspek seperti ideologis, sosial budaya, akademis, ekologis, dan ekonomis. “Ini mengubah cara pandang yang semula menitikberatkan pada pengelolaan situs atau candi menjadi pengelolaan yang berorientasi pada kawasan dan peran serta masyarakat dan sosial budayanya,” kata dia.

Candi Borobudur tidak hanya dipandang sebagai cagar budaya semata, tetapi sebagai keseimbangan, keserasian, serta keselarasan antara candi dengan lingkungannya, baik dengan masyarakat maupun kehidupan seni budaya di sekitarnya.

Penulis: Pamuji Tri Nastiti

Top