Pemerintah Terapkan Tiga Pendekatan untuk Kelola Sampah pada 2025

Reading time: 3 menit
Pengelolaan Sampah
Pengelolaan Sampah. Foto: shutterstock.com

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan tiga pendekatan besar dalam pengelolaan sampah. Upaya tersebut meliputi pengurangan sampah, ekonomi sirkular, dan pendekatan pelayanan dan teknologi. Ketiga hal tersebut dianggap mampu menurunkan 70 persen dari total sampah laut.

Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah sebesar 100 persen pada 2025. Target pencapaian tersebut didukung dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Data KLHK mencatat pengelolaan sampah yang baik dan benar pada tahun 2019 kurang lebih 49,18 persen dan yang tidak baik dan benar 50,82 persen. Sebanyak 18,02 persen sampah dibuang langsung ke lingkungan dan 32,8 persen lainnya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) melalui open dumping. Menurut data tersebut, kapasitas pengelolaan sampah Indonesia saat ini masih rendah, yakni 32 persen.

Baca juga: Pemprov DKI Wajibkan Kelola Sampah di Seluruh Instansi

Direktur Pengelolaan Sampah KLHK, Novrizal Tahar mengatakan pemerintah memiliki tiga pendekatan untuk mengatasi persoalan pengelolaan sampah. Pendekatan pertama, pengurangan sampah dilakukan dengan pencegahan dan pengurangan sampah. Ia mencontohkan penerapannya dimulai dari pola pikir atau gaya hidup.

Menurut Novrizal, peraturan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta termasuk ke dalam pendekatan pertama. Saat ini sudah terdapat 29 Kabupaten dan Kota yang memberlakukan pelarangan maupun pembatasan penggunaan plastik sekali pakai.

“Pendekatan pertama ini dilakukan dengan kampanye. Regulasi yang diberlakukan pemda dinilai efektif karena dapat mengurangi 60 juta lembar plastik per tahunnya. Pada akhir 2019 lalu Menteri LHK juga sudah memberlakukan peta jalan pengurangan sampah oleh produsen dengan melarang penggunaan bahan plastik dan foam pada produk yang digunakan. Berlaku efektif 1 Januari 2030,” ujar Novrizal pada diskusi Pojok Iklim di Manggala Wanabhakti, Rabu (12/02/2020).

Pengelolaan Sampah

Tumpukan sampah kaleng dan alumunium. Foto: shutterstock.com

Pendekatan kedua, kata Novrizal, yakni ekonomi sirkular yang menjadikan sampah bernilai ekonomi. Industri kertas di Indonesia diketahui kekurangan bahan baku sebanyak 6 hingga 6,5 juta ton per tahun. Akibatnya terjadi impor sampah kertas yang mencapai 15 triliun.

“Dari sini terlihat demand (permintaan) sudah ada. Bagaimana kita menyediakannya saja. Kuncinya di pemilahan sampah dari sumber. Sampah yang dipilah di clean collection secara bersih dan terpilah baik itu plastik, kertas, logam, dan karet,” ujar Novrizal.

Untuk mendorong pendekatan ekonomi sirkular dibutuhkan beberapa pilar, yakni membangun permintaan dari industri yang memerlukan kapasitas besar untuk menyerap bahan baku. Kemudian membangun satu bank sampah dalam satu rukun warga (RW) untuk mendapatkan sampah yang bersih (clean collection), insentif untuk masyarakat supaya terdorong melakukan pemilahan sampah dari rumah, Extended Producer Responsibility (EPR) oleh produsen dengan mengambil kembali sampah produk mereka, dan menyiapkan regulasi produk daur ulang sehingga produk yang dihasilkan akan bernilai tinggi.

Baca juga: Komitmen Indonesia Tangani Sampah Laut

Pendekatan ketiga, yakni pelayanan dan teknologi. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, daerah yang menghasilkan sampah di atas 1.000 ton per hari harus memiliki insenerator atau waste energy. Sebab daya tampung dan daya dukung TPA di masing-masing daerah sudah tidak memadai lagi.

“Kabupaten Bekasi dalam sehari menghasilkan 2.500 ton sampah. Namun, hanya memiliki kapasitas pelayanan 800 ton, berarti ada 1.700 ton yang diselesaikan sendiri oleh masyarakatnya. Entah dibuang sembarangan atau dibakar. Makanya kenapa kalau banjir Kali Jambe dan Kali Pisang Batu banjir. Kita butuh inesenerator untuk menyelesaikan ini,” ujar Novrizal.

Novrizal menyampaikan, ketiga pendekatan ini sedang diterapkan secara stimulan karena bisa mempercepat masalah sampah.

Sementara itu, Reza Cordova Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan sampah yang tidak terkelola dengan baik akan masuk ke kali atau sungai dan berakhir di laut. Setidaknya terdapat 268 ribu hingga 595 ribu ton per tahun sampah yang berakhir di lautan. Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi pada 2048, sumber pangan Indonesia lebih banyak berasal dari laut dibandingkan darat.

“Namun, di lain sisi World Bank juga memberikan pernyataan bahwa di tahun 2050 jumlah sampah plastik akan lebih banyak daripada jumlah ikan. Tentu jika seperti itu biota laut juga akan terganggu,” ujar Reza.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top