Perbaiki Kualitas Air Danau Toba, LIPI Sarankan Keramba Jaring Apung Dibatasi

Reading time: 2 menit
kualitas air danau toba
Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyatakan kondisi kualitas air Danau Toba telah mengalami penurunan dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya. Oleh sebab itu, peneliti Hidrodinamika dan Kualitas Air LIPI, Hadiid Agita Rustini mengatakan perlu pembatasan keramba jaring apung (KJA) agar kualitas air danau Toba kembali menjadi jernih.

Teknik budidaya ikan dengan KJA dapat dilakukan di laut, sungai atau di danau. Namun, akibat buruk dari KJA ini adalah dapat mencemari dan menurunkan kualitas air seperti yang terjadi di Danau Toba, Sumatera Selatan.

“Intinya harus ada pengurangan atau pembatasan jumlah KJA, kemudian zonanya harus diperhatikan kalau ingin benar-benar kualitas air yang ada di Danau Toba menjadi oligotrofik (jernih). Tujuh dusun di sekitar Danau Toba menggunakan air danau sebagai sumber air minum yang artinya air harus jernih, tidak berbau, tidak hijau dan bisa digunakan sebagai sumber air minum,” tegas Hadiid pada media briefing LIPI Kaji Ekosistem Danau Toba untuk Perbaikan Kualitas Air di Jakarta, Selasa (10/07/2018).

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015, sebanyak 88% masyarakat di sekitar Danau Toba menggunakan air danau sebagai sumber air minum tanpa pengolahan lanjut. Tiga Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga menggunakan air Danau Toba sebagai sumber air bakunya yaitu PDAM Balige, PDAM Laguboti dan PDAM Pangururan.

BACA JUGA: LIPI Berharap Jadi Acuan Standardisasi Kualitas Air Bersih di Indonesia

Hadiid menjelaskan, akibat buruk dari budidaya ikan dengan KJA adalah feses ikan dan limbah dari makanan ikan menyebabkan air menjadi keruh dan hijau karena mengandung nitrogen dan fosfor.

Menurut data KLHK (2015), pencemar fosfor dari sektor perikanan paling tinggi dibandingkan dengan sumber pencemar lainnya sehingga perlu ada pengurangan produksi. Produksi ikan di Danau Toba harus diturunkan dari 65.300 ton KJA menjadi 30.764 ton. Beban pencemaran (parameter total Fosfor) dari pemukiman, hotel, dan kegiatan lain di darat juga harus diturunkan sebanyak 212.295 ton/tahun atau sebesar 43%.

“Menurut perhitungan kami, jika KJA ini sekalian dihilangkan dari perairan Danau Toba, tidak sampai satu tahun kualitas air dari hipertrofik (keruh) bisa menjadi oligotrofik. Jika tadi Pak Fauzan (Kepala Pusat Penelitian Limnologi) mengatakan butuh 10 tahun, itu karena ada dampak dari pembuangan sampah secara ilegal. Tentu yang lama itu pembenahan di sekitar perairan pinggiran dan menghilangkan sumber dari limbah KJA,” kata Hadiid.

BACA JUGA: Limbah Organik Cemari Danau Toba

Berdasarkan kajian LIPI, untuk mendapatkan kualitas air Danau Toba pada kondisi oligotrofik sesuai dengan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, jumlah keseluruhan KJA hanya 543 petak dengan asumsi produksi ikan 1.430 ton per tahun. Perhitungan ini jauh di bawah rekomendasi pemerintah dan kajian-kajian sebelumnya yang menetapkan total produksi ikan hingga 10.000 ton per tahun.

“Saat ini ada 11.286 petak KJA di seluruh Danau Toba dan yang paling banyak ada di Kabupaten Simalungun yang berjumlah 7.700 petak. Angka yang harus dikurangi sangat banyak, apalagi saat ini Danau Toba dijadikan destinasi wisata internasional, PR (pekerjaan rumah, Red.) untuk pemdanya besar menjadikan Danau Toba bersih kembali secara kualitas air,” pungkasnya.

Sebagai informasi, berdasarkan Surat Sekretariat Kabinet Nomor B652/Seskab/Maritim/2015 tanggal 6 November 2015, Danau Toba ditetapkan menjadi salah satu dari 10 destinasi wisata prioritas. Danau Toba merupakan danau terdalam (± 450 meter) dan terbesar nomor dua di dunia sesudah Danau Victoria di Afrika, dan merupakan danau terluas di Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama pulau Samosir dengan luas 1.145 km2 (luasnya hampir sama dengan Singapura).

Penulis: Dewi Purningsih

Top