Perbedaan Definisi Deforestasi Kaburkan Realitas Hilangnya Hutan

Reading time: 4 menit
Deforestasi
Deforestasi. Foto: shutterstock

Jakarta (Greeners) – Untuk memperingati Kemerdekaan Indonesia yang ke-75 tahun, Forest Watch Indonesia mengeluarkan data deforestasi yang dihimpun dari 2000 hingga 2017. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa Indonesia yang telah tujuh kali berganti rezim pemerintahan telah kehilangan hutan alam lebih dari 23 juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta. Sejak saat itu, pemerintah Indonesia dinilai belum juga mampu menghadirkan tata kelola hutan yang baik. Kondisi hutan alam yang terus berkurang dan terdegradasi merupakan akumulasi dari lemahnya tata kelola hutan dari tahun ke tahun.

Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis data berbeda. Pemerintah menyatakan bahwa deforestasi di Indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun. Melihat data resmi pemerintah, pada periode yang sama antara 2013-2017 hutan yang terdeforestasi di Indonesia seluas 2,7 juta hektare. Perbedaan pemaknaan deforestasi disinyalir menjadi salah satu landasan munculnya data yang cukup timpang.

“Pendefinisian deforestasi saat ini dapat mengaburkan realitas atas kehilangan hutan alam yang sebenarnya sehingga perlu dikembalikan motivasinya dalam kerangka penyelamatan hutan alam Indonesia. Jadi, kalau dilihat yang membuat semakin rumit itu karena pendefinisian-pendefinisian yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri. Ini justru memunculkan dugaan di kami, untuk menurunkan laju deforestasi, bukan kejadian di lapangan yang dicegah atau disetop, tetapi definisi terkait hutan dan deforestasi yang diubah,” ujar Mufti Barri, Manajer Kampanye FWI saat dihubungi Greeners, Selasa (18/08/2020).

Baca juga: Penggunaan Jerat pada Satwa Terjadi di Aceh  

Mufti menjelaskan bahwa secara harfiah, deforestasi bisa diartikan sebagai kehilangan hutan. Dalam Undang- Undang No 41 Tahun 1999 Pasal 1 (2) disebutkan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.” Menurutnya, pendefinisian hutan tidak hanya mengartikannya sebagai sekumpulan pepohonan, tetapi juga peran dan fungsinya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan. “Bahkan juga menjadi ruang hidup bagi seluruh makhluk hidup tidak terkecuali manusia,” ucapnya.

Sementara definisi yang digunakan oleh pemerintah Indonesia saat ini merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70 Tahun 2017 tentang Tata Cara pelaksanaan Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest Carbon Stocks. Dalam aturan tersebut, deforestasi didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari area berhutan menjadi tidak berhutan yang kemudian dibagi menjadi Deforestasi Gross dan Deforestasi Nett.

Deforestasi Gross adalah perubahan secara permanen tutupan hutan alam tanpa memperhitungkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan atau pembuatan hutan tanaman. Sedangkan Deforestasi Nett adalah sebaliknya. Di dalamnya didefinisikan juga mengenai degradasi hutan sebagai penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu.

Data deforestasi

Data deforestasi per ekoregion. Sumber: Forest Watch Indonesia (FWI)

Adapun definisi deforestasi yang digunakan oleh pemerintah lebih ditujukan sebagai landasan informasi dalam kebijakan terkait isu perubahan iklim. Mekanisme penghitungan karbon yang diimplementasikan dalam pendefinisian hutan dan perubahannya secara langsung telah mereduksi definisi yang ada di Undang-Undang Kehutanan. Indikasinya, bahwa data deforestasi yang secara agregat menunjukkan penurunan, tetapi perspektif lain atas data yang sama menunjukkan bahwa deforestasi hutan alam di Indonesia malah menunjukkan peningkatan.

Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode 1985-1998 diketahui tidak kurang dari 1,6 sampai 1,8 juta hektare per tahun (Dephutbun, 2000). Tahun 2000, laju deforestasi meningkat menjadi paling tidak 2 juta hektare per tahun (FWI/GFW, 2001). Menurut KLHK, selama Orde Reformasi sampai saat ini deforestasi semakin menurun, pada 2016-2017 angkanya berada di 0,48 juta hektare.

“Jadi, analisa kita untuk menghitung deforestasi itu hanya melihat hutan alam dan bukan hutan alam untuk kelasnya. Berbeda dengan pemerintah yang memunculkan banyak kelas sehingga berdampak pada adanya deforestasi gross dan deforestasi nett. Di FWI sendiri tidak mengenal kedua istilah tersebut,” kata Mufti.

Baca juga: LBH Makassar: Penahanan Nelayan Kodingareng Menyalahi Prosedur

Menurut FWI hutan alam sama dengan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 sehingga tidak ada perbedaan antara hutan primer dan sekunder. Definisi hutan tanaman yang tidak masuk sebagai dari hutan disebut akan mengaburkan makna atau definisi hutan itu sendiri di regulasi tersebut. Hutan tanaman yang menggunakan sistem tebang habis dan monokultur tidak sesuai dengan makna dan fungsi hutan. Kedua, jika hutan tanaman dianggap sebagai hutan, penanaman pada hutan tanaman akan dianggap sebagai reforestasi. Padahal di hutan tanaman hanya sementara dan pada waktu 4 sampai 5 tahun akan ditebang.

“Kalau dari kami melihatnya itu digunakan untuk mengakali tercapainya upaya penurunan deforestasi di Indonesia. Faktanya di lapangan upaya-upaya tersebut tidak berdampak pada berkurangnya hutan alam di Indonesia. Deforestasi dan reforestasi itu dua hal yang berbeda sehingga penggabungan kedua data tersebut menjadi angka deforestasi menjadi tidak relevan dan tidak menjawab persoalan. Contoh kasus deforestasi terjadi di Papua, tetapi reforestasinya di Sumatera. Dua hal yang berbeda yang tidak bisa digabungkan informasinya,” papar Mufti.

Sementara Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Belinda Arunarwati Margono menjelaskan bahwa dalam pengelolaan hutan di Indonesia, hutan primer dan hutan sekunder merupakan bagian dari hutan alam. Hal tersebut mengacu pada beberapa aturan yang ada, termasuk Perdirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan No.P.1/VII-IPSDH/2015, Dokumen FREL 2016, SNI 8033, 2014, dan SNI 7645-1, 2014.

“Hutan Primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan atau gangguan. Sedangkan yang telah menampakkan bekas tebangan disebut hutan sekunder. Secara sederhana, hutan alam merupakan gabungan antara hutan primer dan hutan sekunder. Sedangkan hutan sendiri mencakup hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman,” ujar Belinda.

Metodologi yang digunakan oleh KLHK, termasuk penggunaan definisi hutan primer, telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen resmi negara berjudul National Forest Reference Emission Level (FREL) yang secara resmi dikeluarkan oleh kementerian pada 18 September 2015. Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC melalui proses verifikasi internasional pada November 2016. Hal ini menggambarkan bahwa metode dan data Indonesia sudah diketahui di dunia internasional.

“Maka definisi dan terminologi yang digunakan selain yang bersumber dari dokumen tersebut, harus diberikan keterangan dan informasi yang memadai agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah,” ucapnya.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top