Pertumbuhan Awan Hujan Sebabkan Hujan Deras di Jabodetabek

Reading time: 2 menit
pertumbuhan awan hujan
Foto: arif muslimin/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Hujan deras yang mengguyur wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) sejak Selasa (21/02) dini hari, disebabkan oleh adanya area konvergensi atau pertemuan angin tepat di sekitar wilayah Jakarta khususnya bagian utara. Hal ini membuat pertumbuhan awan hujan menjadi sangat kuat yang ditandai dengan banyaknya awan Cumulonimbus.

Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yunus S. Suwarinoto mengatakan, dari pantauan kondisi atmosfer global dan regional, pengaruh gelombang tropis memicu munculnya area tekanan rendah serta monsun Asia yang masih cukup kuat. Secara tidak langsung, kondisi ini memengaruhi fenomena cuaca regional dan lokal seperti munculnya daerah konvergensi kuat di pesisir barat Sumatera hingga wilayah Jawa bagian barat.

“Melihat dari potensi perkembangan awan hujan pagi ini, diperkirakan hujan ringan hingga sedang masih akan bertahan di wilayah Jabodetabek. Masyarakat diimbau tetap waspada dan berhati-hati khususnya ketika beraktifitas di luar rumah mengingat sebagian besar wilayah Indonesia masih berada dalam puncak musim hujan sehingga peningkatan intensitas curah hujan masih akan terjadi,” kata Yunus, Jakarta, Selasa (21/02).

BACA JUGA: 14 Perumahan di Kota Bekasi Terendam Banjir

Sementara itu, pos pengamatan BMKG mencatat untuk curah hujan selama 24 Jam hingga pukul 07.00 WIB pada Rabu (22/02) sebagai berikut: Lebak bulus 71.7 mm, Pakubuwono 106 mm, Beji 65 mm, Depok 83 mm, Gunung Mas 39 mm, Pasar Minggu 106.5 mm, Tangerang 92.5 mm, Pondok Betung 67.4mm, Cengkareng 72 mm, Tanjung Priok 115.9 mm, Kemayoran 180 mm, Dramaga 75 mm, Curug 37.5 mm, Kepala Gading 145.4 mm, TMII 48.8 mm, Parung 21.8 mm, Jagorawi 72.5 mm, Mekarsari 60.8 mm, Leuwiliang 89.7 mm, Katulampa 35.8 mm, dan Bekasi 65 mm.

Curah hujan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan hujan yang menyebabkan banjir di Jakarta pada tahun 2007, 2013 dan 2014 yang saat itu mencapai 200-350 mm. Peluang hujan ekstrem saat ini makin sering terjadi. Artinya, risiko terjadinya banjir di wilayah Jabodetabek juga makin tinggi jika tidak dilakukan upaya pengendalian banjir yang komprehensif dan berkelanjutan.

“Sebagai catatan, hujan memiliki kisaran lebih dari 50 mm selama 24 jam, sehingga hampir sebagian besar wilayah Jabodetabek masih akan terjadi hujan sedang hingga lebat,” jelasnya.

Hujan deras yang terjadi pun menyebabkan banjir yang mengepung wilayah Jakarta, Bekasi dan Tangerang. Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, kalau kepungan banjir tersebut menunjukkan bahwa wilayah Jabodetabek masih rentan terhadap banjir.

BACA JUGA: Antisipasi Banjir, BNPB dan MIT Luncurkan PetaBencana.id

Dari citra satelit Landsat tahun 1990 hingga 2016 menunjukkan permukiman dan perkotaan berkembang luar biasa. Permukiman nyaris menyatu antara wilayah hulu, tengah dan hilir dari daerah aliran sungai yang ada di Jabodetabek. Sangat minim ruang terbuka hijau atau kawasan resapan air, sehingga suatu keniscayaan air hujan yang jatuh sekitar 80 persennya berubah menjadi aliran permukaan. Bahkan di wilayah perkotaan sekitar 90 persen menjadi aliran permukaan.

“Kapasitas sungai-sungai dan drainase perkotaan untuk mengalirkan aliran permukaan masih terbatas. Okupasi bantaran sungai menjadi permukiman padat menyebabkan sungai sempit dan dangkal. Sungai yang harusnya lebar 30 meter, saat ini hanya sekitar 10 meter. Bahkan ada sungai yang 5 meter. Sudah pasti kondisi tersebut menyebabkan banjir. Relokasi permukiman di bantaran sungai adalah keniscayaan jika ingin memperlebar kemampuan debit aliran. Tapi seringkali relokasi sulit dilakukan karena kendala politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat,” ujar Sutopo menerangkan.

Sutopo menyatakan penataan ruang perlu dikendalikan. Daerah-daerah sempadan sungai, kawasan resapan air dan kawasan lindung harus dikembalikan ke fungsinya. Menurutnya, tidak mungkin Pemda Jakarta sendirian mengatasi banjir.

“Harus kerjasama dengan pemerintah pusat dan pemda lain. Studi banjir dan masterplan pengendalian banjir sudah ada sejak lama. Tinggal komitmen bersama,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top