Penanganan Perubahan Iklim Belum Libatkan Masyarakat Hukum Adat

Reading time: 2 menit
masyarakat hukum adat
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Semangat untuk menanggulangi perubahan iklim di Indonesia dianggap masih belum melibatkan partisipasi dari masyarakat hukum adat dalam pemenuhan hak maupun penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam.

Emil Kleden, peneliti dari Forest People Program, dalam keterangan tertulisnya mengatakan, hingga saat ini, peraturan yang terkait dengan perubahan iklim masih belum ada yang menyinggung partisipasi secara bermakna yang mencakup hak masyarakat. Padahal partisipasi masyarakat bertujuan sebagai alat kontrol berbasis masyarakat atas pemerintahan yang baik dan bersih, serta mengontrol efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

“Potret kebijakan nir-partisipasi ini terlihat dalam dua rezim terakhir, yakni pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Jokowi yang digadang sangat pro akan program penanggulangan perubahan iklim,” katanya, Jakarta, Sabtu (17/12).

BACA JUGA: Komisioner Inkuiri Komnas HAM Temukan Banyak Pelanggaran Terhadap Masyarakat Adat

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan HuMa mencatat dari peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, hanya ada lima undang-undang terkait perubahan iklim yang secara eksplisit memandatkan pengaturan lebih lanjut tentang partisipasi masyarakat, baik dalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri.

Dahniar Andriani, direktur eksekutif Perkumpulan HuMa, memaparkan, dalam kebijakan yang terkait langsung dengan perubahan iklim seperti kebijakan kehutanan tersebut, justru terdapat 12 peraturan pelaksana yang tidak mengatur sama sekali partisipasi masyarakat.

Ia melanjutkan, sebenarnya beberapa masyarakat hukum adat telah lama menjalankan tradisi menjaga hutan dan memiliki pengetahuan turun-temurun sebagai mitigasi ekologis. Dalam konteks hukum negara, ketika sebuah ketentuan diatur dalam undang-undang, maka ketentuan tersebut menjadi hukum. Dengan pedoman ini, maka dapat dikatakan bahwa terdapat inkonsistensi pemerintah menjalankan kewajibannya kepada masyarakat papar Dahniar.

“Ini dibuktikan pula paska putusan MK 35. Belum ada satupun hutan adat yang ditetapkan secara definitif oleh negara,” katanya.

BACA JUGA: Produk Hukum Daerah, Solusi Alternatif untuk Pengakuan Masyarakat Adat

Sardi Razak dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Selatan (AMAN Sulsel) dalam keterangan yang sama menegaskan bahwa aturan adat Pasang ri Kajang tentang praktek perlindungan dan pengelolaan hutan adat di wilayah masyarakat adat khususnya Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, merupakan bentuk kontribusi nyata dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Sedangkan dua rezim pemerintah Indonesia (SBY dan Jokowi), menurutnya, hanya menggambarkan penegakan supremasi hukum sebagai produksi regulasi hukum semata. Banyaknya produk hukum tanpa adanya implementasi pasti bagi hak masyarakat hanya akan menimbulkan masalah baru, yakni sampah hukum (junk of law).

“Pemerintah justru akan kesulitan menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance), dan akan menimbulkan masalah baru yakni banyaknya produk hukum yang tumpang tindih dan tidak terimplementasi. Hal ini dapat membuat pemerintah keteteran dalam menjalankan program negara dan tentu berakibat hilangnya kepercayaan dari masyarakat,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top