Populasi Pesut Mahakam Menurun: Penggunaan Rengge Masih Jadi Biang Keladi

Reading time: 3 menit
pesut mahakam
Populasi Pesut Mahakam Menurun: Peneliti Sebut Rengge sebagai Biang Keladi. Foto: Shutterstock.

Pesut merupakan maskot dari kota Mahakam, Kalimantan Timur. Masyarakat Mahakam memiliki hubungan yang erat dengan lumba-lumba air tawar tersebut. Pesut sendiri merupakan spesies yang dilindungi dan kondisinya terancam punah. Kesadaran masyarakat setempat akan pentingnya menjaga satwa ini pun mulai terbangun.

Jakarta (Greeners) – Peneliti Pesut Mahakam dan Scientific Program Advisor dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, menyebut populasi pesut mahakam mengalami penurunan.

Menurut catatan RASI populasi pesut mahakam pada 2018-2019 berjumlah 81 ekor. Jumlah tersebut berkurang 7 ekor dari catatan RASI pada 2005.

“Ada penurunan dari tahun 2005 yang tadinya ada 88 ekor (pesut mahakam). RASI sendiri sudah melakukan penelitian terhadap pesut sejak tahun 2005 hingga sekarang,” ujar Danielle pada webinar Penduduk dan Lingkungan: Antara Subsistensi dan Keberlanjutan, Senin, (22/2/2021).

pesut mahakam

Menurut catatan RASI populasi pesut mahakam pada 2018-2019 berjumlah 81 ekor. Jumlah tersebut berkurang sebanyak 7 ekor dari catatan RASI pada 2005. Foto: Shutterstock.

Empat Ekor Pesut Mahakam Mati Setiap Tahunnya

Danielle mengungkapkan rata-rata 4 ekor pesut mahakam mati setiap tahunnya. Adapun rincian kematian berdasarkan usia yaitu:

  • 16 persen bayi,
  • 9 persen anakan,
  • 75 persen dewasa.

RASI mencatat angka kematian tertinggi terjadi pada tahun 2018 yang mana 10 ekor pesut mahakam mati pada tahun tersebut.

Sementara itu, kata dia, bayi pesut mahakam yang lahir per tahunnya sekitar 5 hingga 6 bayi. Beberapa hari lalu RASI juga menerima laporan seekor bayi yang baru lahir.

Danielle mengatakan ancaman terhadap pesut mahakam paling banyak dari rengge yang merupakan jaring tangkap tradisional nelayan di Kalimantan Timur. Adapun ancaman lain bagi populasi pesut termasuk:

  • Alat tangkap ikan yang tidak lestari;
  • Polusi suara dari kapal;
  • Konversi hutan untuk perkebunan sawit;
  • Polusi kimia dan plastik.

“Penyebab kematian pesut dari tahun 2015 hingga 2019 paling banyak rengge 66 persen. Jadi pesut terperangkap dalam rengge tapi tidak dilepas –jadi dibunuh,” jelasnya.

pesut mahakam

Ancaman terbesar bagi hidup pesut mahakam adalah rengge, jaring tangkap tradisional nelayan Kalimantan Timur. Foto: Shutterstock.

Baca juga: Aktivis Desak Perlunya Edukasi Perubahan Iklim untuk Masyarakat

Kepedulian Masyarakat Terhadap Pesut Mulai Terbangun

Lebih jauh, Danielle menjelaskan kesadaran masyarakat kota Mahakam terhadap kelestarian pesut sudah mulai terbangun. Menurutnya, masyarakat sudah mulai melepas kembali pesut yang terjerat dalam perangkap mereka.

Sejak 2002, RASI menerima sembilan laporan terkait pembebasan pesut dari jerat rengge.

“Tujuh ekor (pesut) selamat dari rawa. Untuk operasi ini masyarakat mau membantu sebab mereka ada sejarah dengan pesut mahakam,” imbuhnya.

Danielle menyampaikan pihaknya juga telah menyurvei masyarakat Mahakam untuk mengukur kepedulian terhadap pesut. Dari 258 responden 80 persen merasa pesut membawa keberuntungan.

Hal ini mengindikasikan pesut mahakam merupakan bagian kultur budaya masyarakat. Masyarakat setempat meyakini legenda yang mengaitkan pesut dengan asal-usul manusia.

Selain itu, lanjut dia, 99 responden setuju untuk melindungi pesut. Pasalnya, pesut membantu nelayan sungai untuk mengetahui lokasi penangkapan ikan. Pesut juga membantu masyarakat menentukan musim banjir dan kemarau panjang.

“97 persen responden juga setuju pembentukan kawasan perlindungan pesut. Mereka memperhatikan undang-undang yang ada dan di sisi lain mengkhawatirkan kepunahan pesut,” pungkasnya.

Penulis: Muhamad Ma’rup

Top