Asumsi Co-firing Biomassa untuk Transisi Energi Dinilai Keliru

Reading time: 3 menit
Ilustrasi hutan. Foto: Freepik
Ilustrasi hutan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Sebanyak 29 lembaga masyarakat sipil, menolak pemanfaatan biomassa kayu dalam strategi transisi energi pemerintah. Asumsi soal co-firing biomassa kayu ini pun menurut mereka keliru. Oleh sebab itu, perlu pemahaman yang benar agar tidak merusak lingkungan.

Baru-baru ini, pemerintah tengah gencar mendorong penggunaan biomassa kayu sebagai solusi transisi energi dan pemotongan emisi karbon. Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana mendorong pembakaran bersama (co-firing) biomassa kayu di PLTU batu bara.

Porsinya pun mencapai 10%. Klaim biomassa kayu ini netral karbon dengan asumsi karbon yang lepas dari pembakaran kayu akan terserap pohon baru.

BACA JUGA: Pengurangan Emisi Karbon hingga 2030 Butuh Rp 4.002 Triliun

Di sisi lain, sejumlah lembaga masyarakat sipil menilai hal ini telah memperpanjang masa pelepasan emisi kotor dan polusi di sektor pembangkitan, co-firing biomassa. Kemudian, masyarakat adat dan warga sekitar hutan juga semakin rentan terkena dampaknya.

“Implikasinya tidak berhenti pada deforestasi, tapi perampasan lahan, eskalasi bencana hidrologis, dan memperuncing konflik penguasaan lahan. Pemerintah sedang tidak melakukan apa-apa terkait transisi energi, kecuali memperburuknya,” ungkap Manajer Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza saat konferensi pers Menuntut Pemerintah Stop Bakar Hutan dengan Dalih Biomassa Energi Bersih, Rabu (25/10).

Amalya menganggap, biomassa kayu “netral karbon” bergantung pada asumsi bahwa karbon dari pembakaran biomassa akan ditangkap kembali oleh perkebunan kayu. Namun, dalam skala masif, kecepatan emisi pembakaran tidak akan terserap oleh tumbuhnya pohon baru yang pada akhirnya tetap akan ditebang.

“Apalagi juga ada emisi dari deforestasi hutan alam. Implementasi co-firing di 41 PLTU sebenarnya hanya narasi greenwashing yang merupakan kebohongan publik. Dalam momen tahun politik, narasi greenwashing tersebut menjadi justifikasi untuk pemberian izin-izin baru Hutan Tanaman Energi (HTE),” lanjut Amalya.

Ilustrasi polusi. Foto: Freepik

Ilustrasi polusi. Foto: Freepik

Ada Kekeliruan Klaim Karbon

Sementara itu, dalam peta jalan PLN, Indonesia punya target ambisius untuk tidak memberlakukan co-firing hingga 10% di 52 PLTU. Namun, pada kenyataannya, PLN telah melakukan co-firing di 30 PLTU baru. Sejauh ini, pemerintah telah mengklaim sudah menurunkan emisi karbon hingga 717.616 ton, dengan pembakaran 668.869 ton biomassa melalui proyek co-firing di 41 PLTU.

Riset Trend Asia membantah klaim tersebut. Sebab, perhitungan pemerintah berdasar kepada klaim netral karbon pembakaran biomassa yang keliru. Dalam perhitungan Trend Asia, pembakaran pelet kayu dalam jumlah tersebut akan menghasilkan 1.188.160 juta ton emisi setara karbon.

Klaim netralitas karbon berdasarkan asumsi bahwa emisi karbon dari pembakaran biomassa di PLTU akan terserap HTE. Namun, menurut Trend Asia, ekspansi HTE yang masif untuk memenuhi permintaan biomassa kayu dari PLTU co-firing justru akan mendorong deforestasi yang menghasilkan emisi baru.

BACA JUGA: Emisi Kebakaran Riau Bakal Dihitung

“Dari 13 perusahaan yang telah berkomitmen untuk bertransformasi dari Hutan Tanaman Industri (HTI) ke HTE selama rentang 2017-2021 saja telah mendeforestasi hutan alam seluas 55 ribu hektare. Lalu, sebanyak 420 ribu hektare hutan alam tersisa juga terancam rusak,” tambah Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Agung Ady Setyawan.

Menurutnya, jika hal ini yang dimaknai transisi energi oleh pemerintah, maka ini keliru. Pembangunan HTE untuk menghasilkan biomassa kayu (bioenergi) yang berasal dari deforestasi tidak bisa diklaim sebagai energi bersih, apalagi tergolong sebagai energi terbarukan.

Berpotensi Perpanjang Usia PLTU

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Zainal Arifin menilai HTE dan co-firing biomassa dalam transisi energi akan memperpanjang usia PLTU. Padahal, semestinya PLTU harus segera dipensiunkan atau ditutup.

“Hutan tanaman energi dan co-firing biomassa dalam transisi energi tidak hanya merupakan solusi palsu. Itu adalah program manipulatif yang berpotensi memperpanjang pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya di tapak-tapak PLTU,” imbuh Zainal.

Dalam hal ini, menurutnya masyarakat di tapak PLTU harus memperpanjang perlawanannya. Sebab, mereka menghirup udara kotor dan perlu berjuang untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top