LONDON, 25 November 2016 – Para peneliti asal Inggris menemukan adanya paradoks terkait dengan dampak karbon dioksida terhadap perairan laut.
Tidak diragukan lagi, pemanasan global membuat lautan menjadi lebih asam dan berdampak buruk terhadap ikan, terumbu karang dan kerang. Namun, para peneliti menemukan bahwa ‘sistem tertutup’ yang dikembangkan oleh para petani ikan, yaitu menggunakan air yang sama (recycle) ternyata membuat ikan justru lebih sehat dengan kadar karbon dioksida yang tinggi, jauh dari yang diperkirakan.
Saat ini, peternakan ikan menjadi salah satu industri makanan yang pesat dengan pertumbuhan delapan persen setiap tahun selama 30 tahun belakangan.
Ikan yang Beradaptasi?
Robert Ellis dan Rod Wilson, para peneliti dari Universitas Exeter, Inggris, dan Mauricio Urbina dari Universitas Canterbury, Christchurch, Selandia Baru, mengajukan argumen di jurnal Global Change Biology, bahwa masih ada pertanyaan yang harus dijawab, seperti apakah ikan-ikan laut bisa beradaptasi dengan pengasaman laut? Atau hanya spesies tertentu saja yang bisa diternakan yang memiliki toleransi lebih tinggi terhadap kondisi saat ini?
“Akuakultur, secara tidak sengaja, memberikan eksperimen jangka panjang yang mampu memprediksi perubahan iklim,” jelas Dr Ellis. “Ada beberapa kemungkinan yang menarik bahwa ikan dan kerang yang dibiakkan pada lingkungan dengan kadar karbon dioksida tinggi selama beberapa generasi akan mampu memberikan pemahaman terkait dengan kemampuan ikan di alam liar untuk bisa beradaptasi dengan meningkatnya karbon dioksida.”
Konsentrasi karbon dioksida, secara historis, berkisar 280 parts per million dan kini sudah mencapai 400 ppm. Para peneliti independen telah mengakui bahwa asidifikasi menjadi ancaman bagi terumbu karang dan kerang, sekaligus berpengaruh terhadap fisiologi, sistem sensor dan mekanisme bertahan hidup dari beberapa jenis ikan. Contohnya, udang di Australia bagian selatan telah memberikan signal terkait dengan perubahan kondisi lautan.
Namun, para peneliti Exeter mengatakan para petani ikan yang mendaur ulang air mereka, — mirip halnya dengan akuarium domestik yang menggunakan air yang sama, — sukses membuat hasil ternakan tumbuh pada kadar kimia air yang dianggap terlalu tinggi dari yang diprediksi pada akhir abad.
Ada beberapa perbedaan, salmon, kakap laut, dan kod yang diternakan tidak akan menghadapi predator alami, kesehatan mereka terus diawasi, dan makanan disiapkan sementara ikan di alam liar mengalami masalah overfishing, polusi, lingkungan terdegradasi, dan iklim mereka berubah setiap saat. Sehingga, akuakultur tidak serta-merta memberikan jawaban, mereka justru menimbulkan banyak pertanyaan baru.
Kesempatan Penelitian
Meski demikian, para peneliti berargumen bahwa hal tersebut justru membuka kesempatan penelitian yang baru. Petani ikan dan ahli biologi kelautan dapat belajar satu sama lain.
“Mengkombinasikan pengetahuan yang datang dari perubahan iklim dan penelitian akuakultur sangat krusial untuk memahami lebih mendalam terkait dengan reaksi fisiologi dan ekologi dari hewan akuatik terhadap meningkatnya karbon dioksida,” jelas mereka. Hal ini, tentu saja, akan menguntungkan para petani ikan.
Dr Wilson mengatakan, “Penelitian kita akan membuat para petani ikan mampu mengoptimalkan kondisi yang bisa memperbaiki pertumbuhan dan kesehatan ikan mereka dan mencapai keuntungan serta menjamin keberlanjutan industri pada jangka panjang. Hal ini sangat penting mengingat akuakultur merupakan satu-satunya cara kita bisa meningkatkan produksi laut untuk menyediakan pangan manusia, terutama karena populasi ikan di alam liar semakin menurun akibat eksploitasi.” – Climate News Network