Sembilan Puluh Persen Septic Tank di Indonesia Bocor

Reading time: 4 menit
Sembilan Puluh Persen Septic Tank di Indonesia Bocor
Sembilan Puluh Persen Septic Tank di Indonesia Bocor. Foto: Shutterstock.

Organisasi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan 19 November sebagai World Toilet Day. Hari ini bertujuan menginspirasi upaya mengatasi krisis sanitasi global. Tahun ini, World Toilet Day mengambil tema Sustainable Sanitation and Climate Change. Di Indonesia, perjalanan sanitasi layak masih terbentang. Pakar menyatakan 90 persen septic tank di Tanah Air bocor.

Jakarta (Greeners) – Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rusli Cahyadi, mengutip data Badan Pusat Statisik tentang persentase penduduk yang memiliki akses terhadap sanitasi layak dan berkelanjutan di Indonesia. Angka ini terus meningkat meskipun dengan jumlah kecil. Pada 2015, 61,57 persen penduduk mendapat akses terhadap sanitasi layak, sedangkan pada 2019 angka ini meningkat menjadi 77,39 persen.

“Peningkatan akses terhadap sanitasi yang layak dan berkelanjutan –baik dari sisi populasi dan rumah tangga– tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa terjadi pencemaran luar biasa terhadap air tanah dan air permukaan.  Sembilan puluh persen sumber air di Jakarta tercemar, baik berat maupun sedang. Pencemaran ini tidak lepas dari septic tank yang merupakan tempat pengolahan atau penetralan bahan pencemar itu bocor. Angka kebocoran ini antara 80 sampai 90 persen di Indonesia, sedangkan di Jakarta 85 persen tingkat kebocoran septic tank,” urainya pada webinar Dibuang ke Mana? Potret Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga di DKI Jakarta, Kamis, (19/11/2020).

Pelaksanaan program sanitasi masyarakat di Indonesia, lanjut Rusli, harus berdasarkan pada prinsip keadilan sosial. Penetapan sasaran program sanitasi masyarakat di Indonesia mencerminkan pengaplikasian prinsip pembangunan berbasis kebutuhan.

“Masyarakat yang berpenghasilan rendah, tinggal di permukiman padat penduduk, serta kondisi lingkungan yang rawan sanitasi, dianggap memiliki kebutuhan yang lebih tinggi. Oleh karenanya hal tersebut perlu menjadi prioritas dalam pembangunan Sarana Sanitasi berbasis Komunitas (Sanimas),” tegas Rusli.

‘Sulit Menemukan Masyarakat yang Mau Terlibat dalam Program Sanimas’

Lebih jauh, Rusli menyorot Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta sebagai pusat pemerintahan serta barometer utama kemajuan ekonomi dan peradaban Indonesia. Ibu Kota republik ini, lanjutnya, pun masih memiliki masalah kependudukan terkait sanitasi, khususnya pengelolaan limbah cair. Rusli mempersoalkan banyaknya kelurahan di DKI Jakarta yang memenuhi kriteria, ternyata masih ada kesulitan untuk menemukan kelompok masyarakat yang mau terlibat dalam program Sanimas.

Dia menjelaskan, kebutuhan masyarakat akan sanitasi yang lebih baik dalam bentuk instalasi pengolahan air limbah komunal berdasar pada:

(1) Data karakteristik individual atau rumah tangga, bukan komunitas;

(2) Kebutuhan yang tercermin oleh kelompok spesifik dalam masyarakat yang dijadikan sebagai cerminan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan;

(3) Penggunaan batasan spasial administratif sebagai dasar bagi kebutuhan masyarakat (social Need).

“Untuk mengakselerasi pengelolaan limbah cair yang baik, pemerintah daerah DKI Jakarta mengembangkan sistem off-site setempat sebagai pelengkap terhadap sistem off-site terpusat yang bersifat jangka menengah dan panjang. Strategi jangka pendek sistem off-site setempat dengan mengedepankan pendekatan Community-Led Total Sanitation (CLTS) atau Sanimas. Pendekatan ini mengedepankan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pembangunan hingga pemeliharaan sistem sanitasi komunal berbasis kelompok,” ujarnya.

LIPI Turun Tangan dalam Pengembangan Teknologi Manajemen Limbah Cair

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penelitian LIPI, Herry Yogaswara, mengatakan salah satu tantangan mendasar DKI Jakarta adalah soal ketimpangan akses terhadap kota. Salah satu cerminan ketimpangan adalah ketidaksetaraan akses spasial geografis maupun sosial ekonomi dalam pelayanan pengelolaan limbah cair rumah tangga.

Keterlibatan LIPI dalam pengelolaan limbah cair, lanjutnya, didominasi oleh pengembangan teknologi pada konteks manajemen limbah cair berada di bagian paling hilir. Salah satu sorotan LIPI yakni pengembangan teknologi toilet pengompos dan pengolahan limbah cair tahu secara anaerobik dengan teknik multi-tahap. Menurut Herry, selain penelitian dan pengembangan teknologi hilir, studi tentang problem sosial kemasyarakatan dan manajemen kelembagan pada bagian hulu, terutama konteks penataan ruang juga menjadi perhatian LIPI saat ini.

“Strateginya, kita akan mempercepat perluasan keterlibatan dan kontribusi LIPI pada konteks pengelolaan kelembagaan dan aspek sosial kemasyarakatan. Kegiatan ini untuk menunjukkan kontribusi LIPI dalam pengarusutamaan dan penyebarluasan isu-isu dasar dalam pengelolaan limbah cair rumah tangga. Tujuan tersebut akan tercapai melalui penggambaran kondisi atau capaian utama pembangunan sistem sanitasi, hambatan kelembagaan hingga tantangan pada pelaksanaan pembangunan sanitasi,” tambah Herry.

Baca juga: AMR: Pakar, LSM Babarkan Bahaya Penggunaan Antibiotik pada Hewan Ternak

90% Septic Tank Bocor, Kemen PUPR Jabarkan Tantangan Membangun Sanitasi

Subkoordinator Air Limbah Domestik dan Drainase Lingkungan Wilayah 2 Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), Nanda Lasro Elisabet Sirait, merinci isu dan tantangan di bidang sanitasi. Tantangan ini mulai dari teknis, kelembagaan, peran serta masyarakat, regulasi, dan pendanaan.

1. Tantangan Teknis

Kualitas dokumen perencanaan yang belum memadai. Infrastruktur yang ada sulit memenuhi baku mutu effluen air limbah domestik. Selain itu, penerapan inovasi teknologi terbatas.

2. Tantangan Kelembagaan

Kurangnya komitmen kepala daerah, salah satunya ditandai dengan sebagian besar kabupaten/kota yang belum melakukan pemisahan operator dan regulator.

3. Tantangan pada Peran Serta Masyarakat

Rendahnya kesadaran masyarakat terkait akses layak dan aman sanitasi. Tingginya Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dan BABS terselubung menandai klaim ini. Selain itu, belum maksimalnya penciptaan permintaan dan penawaran untuk sanitasi di level masyarakat dan penyedia jasa.

4. Tantangan Regulasi

Belum tersedianya Payung Hukum Nasional untuk Air Limbah Domestik, banyak kabupaten/kota yang belum memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang sanitasi, dan lemahnya penegakan hukum.

5. Tantangan Pendanaan

Rendahnya alokasi biaya di bidang sanitasi, terdapat gap ketersediaan dana pembangunan sanitasi dengan kebutuhan, skema tarif layanan sanitasi yang belum full cost recovery.

“Kami berharap kesadaran masyarakat tentang pentingnya sanitasi yang layak dan aman, sehingga dapat ikut aktif meningkatkan kualitas sanitasi di lingkungan sekitar mereka. Terkait pembiayaan sangat berpengaruh. Kita ingin akses 100 persen, dana yang ada hanya 30 persen. Oleh karena itu, alternatif pembiayaan untuk sanitasi ini sangat perlu. Sepuluh tahun terakhir, pemerintah mulai mengarustamakan sanitasi. Alokasi anggaran untuk PUPR sudah meningkat,” ujar Nanda.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top