Virus Kuno Ditemukan, Bisa Menular karena Perubahan Iklim

Reading time: 2 menit
Permaforst merupakan tanah beku di bawah 0 derajat Celcius. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Tim ilmuwan iklim dari Prancis, Rusia dan Jerman menemukan virus kuno ‘mati suri’ selama puluhan ribu tahun di permafrost dapat menginfeksi amuba setelah mereka hidupkan kembali.

Penelitian yang terbit di situs akses Viruses ini menggunakan beberapa spesimen virus raksasa dari permafrost di Siberia.

Permaforst merupakan tanah beku di bawah 0 derajat Celcius. Banyak bangkai hewan punah diekstraksi dari permaforst di belahan bumi utara.

Melansir Phys, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa benih tanaman dari wilayah permafrost dapat tumbuh setelah peneliti hidupkan kembali.

Pada penelitian tahun 2014 juga menunjukkan, virus berusia 30.000 tahun dapat peneliti hidupkan kembali dan menular. Sebagai tindak lanjut, pada 2015 peneliti menghidupkan kembali virus berbeda dan membiarkannya menginfeksi amuba.

Pada penelitian ini, tim peneliti hanya mengumpulkan virus raksasa. Saat sampel virus mereka hidupkan kembali, virus kuno ini masih mampu menginfeksi amuba.

Selain itu, melalui penanggalan radiocarbon dari permafrost, virus ini telah tak aktif selama 27.000 hingga 48.500 tahun.

Ancaman Perubahan Iklim Terhadap Virus Kuno

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, permafrost (kawasan dingin) akan mencair seiring dengan perubahan iklim.

Temuan virus yang menginfeksi amuba ini hendaknya menjadi perhatian serius untuk meningkatkan kewaspadaan.

“Karena di era perubahan iklim, bumi semakin panas ini belum ada reaksi memitigasi perubahan iklim secara global sehingga sangat berpotensi mengaktifkan kembali virus-virus lama ini,” katanya kepada Greeners, Senin (13/3).

Lebih jauh, Dicky menyebut, ada lima tipe level ancaman virus. Menurutnya, infeksi virus dorman di permafrost yang menginfeksi amuba ini masih jauh. “Beda halnya dengan H5N1 yang sudah naik ke level 4. Begitu pula bila naik ke level 5 itu sudah menular ke manusia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia tetap mengingatkan agar tetap meningkatkan kewaspadaan. “Tapi setidaknya ada di situ ancamannya. Kalau tidak melakukan perlambatan perubahan iklim maka akan berdampak serius,” tegasnya.

Para peneliti terus maraton meneliti virus di laboratorium. Foto: Freepik

Prioritas Pendekatan One Health

Selain itu, Dicky juga menyebut pentingnya pendekatan one health yang menekankan konservasi alam, harmonisasi kesehatan hewan dan manusia. “Sebab, saat bumi semakin panas dan permafrost mencair maka ada potensi kemunculan virus yang mampu menginfeksi manusia,” imbuhnya.

Peneliti sebelumnya menemukan virus influenza dalam sampel paru-paru seorang wanita yang meninggal di Alaska selama pandemi flu tahun 1918.

Sementara tim lain menemukan virus yang berhubungan dengan cacar pada mumi wanita di Siberia dan telah ada selama 300 tahun.

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top