Walhi: Bencana Ekologis Mengintai Sumatera Selatan

Reading time: 2 menit
Pemotor dan pesepeda menembus banjir. Foto: MangAndri Kasep/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan kembali mengingatkan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Daerah untuk selalu siaga menghadapi bencana ekologis yang tengah mengintai. Manager Desk Disaster Walhi Sumatera Selatan Dino Mathius menyatakan, beberapa bencana ekologis sudah terjadi selama hampir dua bulan terakhir.

Mulai dari banjir yang terjadi di enam kecamatan di Kabupaten Lahat. Salah satunya seperti yang terjadi di Desa Gunung Kembang pada tanggal 23 Januari 2016 lalu. Setidaknya terdapat 150 Kepala Keluarga terdampak yang mana diantaranya empat rumah hanyut dan 15 rumah rusak parah, serta sisanya terendam air setinggi kurang lebih tiga meter. Pada waktu yang bersamaan terjadi juga banjir di Kota Muara Dua Kabupaten Oku Selatan, Muara Enim dan Tanjung Enim serta di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

“Saat ini pun sedang terjadi banjir di Kabupaten Musi Banyuasin. Terdapat beberapa titik banjir yang sedikitnya menimpa kurang lebih empat desa diantaranya Desa Ulak Embacang, Desa Air Balui SP 1, SP 2 dan SP 3 yang berada di Kecamatan Sanga Desa,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Rabu (10/01).

Tidak hanya itu, terdapat empat kecamatan di Musi Banyuasin yang juga berpotensi banjir seperti di Kecamatan Sekayu, Babat Toman,Sei Lais dan Lawang Wetan. Sedangkan di Kabupaten Empat Lawang, ada tiga kecamatan yang telah mengalami banjir. Tiga kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Pendopo Barat, Sikap Dalam dan Tebing Tinggi. Banjir merendam ratusan rumah warga dan menyebabkan hancurnya dua jembatan gantung yang berada di Desa Linggae dan Desa Baturaja Baru.

“Untuk di Kabupaten OKI, banjir yang terjadi di Kecamatan Air Sugihan merupakan salah satu penyebab gagalnya panen padi milik masyarakat. Sebelumnya, pada saat musim kemarau pun gagal panen terjadi akibat kekeringan,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko mengatakan, dalam dokumen Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sumatera Selatan sebelumnya, wilayah-wilayah yang disebutkan tadi adalah daerah yang sangat rawan terhadap banjir. Di antaranya banyak yang masuk dalam kategori berat.

Hadi menegaskan bahwa bencana ekologis yang terjadi merupakan salah urus dalam tata kelola pengelolaan sumber daya alam (SDA). Hasil pantauan Walhi Sumatera Selatan memperlihatkan, beberapa lokasi banjir tersebut di atasnya terdapat izin kegiatan ekstraksi berupa pertambangan mineral batubara sebanyak 60 izin, perkebunan sawit 19 izin dan Hutan Tanaman Industri satu izin dengan total luas mencapai 181,429,5 hektare atau empat setengah kali luas Kota Palembang.

Aktivitas eksploitasi SDA yang destruktif tersebut terus mendegradasi daya dukung dan daya tampung kesatuan ekosistem di Sumatera Selatan. Belum lagi kebakaran hutan dan lahan yang berkontribusi besar terhadap perubahan ekosistem, baik perubahan secara cepat maupun perlahan (akumulatif).

“Oleh karena itu, kami khawatir bencana ekologis ini akan terus meluas jika tidak dapat diantisipasi dengan sesegera mungkin,” jelasnya.

Hadi berharap dalam waktu dekat pemerintah segera melakukan upaya rehabilitasi dan pemulihan lingkungan pasca banjir. Sedangkan untuk jangka panjang, pemerintah wajib mengubah paradigma dan model pembangunan dari yang selama ini digunakan, karena terbukti dampak buruknya jauh lebih besar ketimbang keuntungan secara ekonomis.

Kebijakan lainnya yang harus dipastikan adalah pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan Perda Tata Ruang baru yang akan disahkan. “Rancangan Perda tersebut penting untuk diperiksa kembali, apakah sudah dipastikan bahwa lingkungan hidup dan masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan sudah terjamin hak-hak nya dalam mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang baik. Untuk saat ini maupun generasi mendatang sesuai dengan amanat konstitusi,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top