Walhi: Permen Pembangunan Food Estate Perdalam Masalah Lingkungan

Reading time: 3 menit
Walhi: Permen Pembangunan Food Estate Perdalam Masalah Lingkungan
Walhi: Permen Pembangunan Food Estate Perdalam Masalah Lingkungan. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Setelah Undang-undang Cipta Kerja, kini pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mereken regulasi baru ini akan meningkatkan laju penebangan hutan alam.

Permen ini mengatur dua skema penyediaan kawasan hutan untuk kepentingan Food Estate. Pertama yakni skema perubahan peruntukan kawasan hutan; kedua, penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan. Menurut Nur Hidayati, pengecualian kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) menjadi catatan penting. Kebijakan ini, menurutnya, semakin memperlihatkan keberpihakan pemerintah pada investasi. 

“Lahirnya Permen ini semakin menegaskan muka jahat program Food Estate. Pada prinsipnya, Food Estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, Food Estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” ujar Nur Hidayati pada pernyataan resminya, Minggu (15/11/2020).

Walhi Rincikan Tiga Problematika Permen LHK 24/2020

Nur Hidayati menambahkan, Permen LHK 24/2020 akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia. Saat ini, 33,45 juta hektare atau 26,57 persen kawasan hutan telah terkapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Dia menambahkan, dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektare kawasan hutan lepas untuk kepentingan bisnis. Penerbitan Permen anyar ini, lanjutnya, akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi. 

Lebih jauh, Direktur Eksekutif Walhi tersebut lalu merinci tiga persoalan dalam Permen ini. Pertama, menurutnya regulasi ini mengakui Food Estate sebagai usaha pangan skala luas, sehingga pasti memiliki dampak deforestasi yang signifikan.

Kedua, skema perubahan peruntukan kawasan hutan pelaksanaannya di kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK). Sedangkan, pelaksanaan hak pengelolaan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung. Khusus untuk KHKP,  berkedok program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (Pasal 20 huruf c). Durasi penguasaan ruang KHKP paling lama dua puluh tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 31).  

Ketiga, pengusaha yang menebang hutan alam kemungkinan mendapat insentif. Yakni, tidak perlu membayar kewajiban pembayaran PSDH dan DR (Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3)).

KLHK: Pemanfaatan Kawasan Hutan Food Estate Tidak untuk Swasta

Menanggapi kritik dari Walhi, Direktur Jendral Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Sigit Hardwinarto, mengatakan pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate dengan mekanisme Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan KHKP sesuai Pasal 3 ayat 2. Menurutnya, yang berhak mengajukan permohonan ini jelas hanya pemerintah dalam hal ini menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota atau kepala badan otorita. Tidak untuk swasta.

Dia juga menjelaskan bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate pada kawasan HPK (Pasal 6 Ayat 1), dengan syarat harus melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan menyelesaikan Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) dalam rangka perlindungan lingkungan.

Sigit menegaskan, kegiatan Food Estate tidak dapat terlaksana sebelum menyelesaikan Komitmen UKL-UPL. Selain itu, juga perlu mengamankan Kawasan HPK. Dalam kepentingan reforma agraria, lanjutnya, areal yang telah siap untuk areal tanaman pangan dapat dilakukan redistribusi tanah kepada masyarakat sesuai dengan ketentuaan peraturan perundang-undangan.

“Sementara itu KHKP merupakan kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan untuk kepentingan ketahanan pangan. Penetapan KHKP dapat dilakukan pada kawasan Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi. Areal KHKP tidak akan dilepaskan atau tetap menjadi kawasan hutan,” ujar Sigit di Jakarta, (16/11).

Baca juga: Kelola Tumpukan Limbah Medis, Pemerintah Pusat Canangkan UPTD

KLHK: Food Estate adalah Kegiatan Rehabilitasi Kawasan Hutan Lindung

Terkait Kawasan Hutan Lindung (HL) untuk pembangunan Food Estate, Sigit mengatakan kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan HL yang terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan.

Dengan begitu, Sigit memastikan kegiatan Food Estate sekaligus merupakan kegiatan pemulihan (rehabilitasi) kawasan hutan lindung dengan pola kombinasi tanaman hutan (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan atau tanam wana tani (agroforestry); kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak atau wana ternak (sylvopasture); dan kombinasi tanaman hutan dengan perikanan atau wana mina (sylvofishery). Menurutnya, tanaman hutan pada kombinasi tersebut akan memperbaiki fungsi hutan lindung.

Sebagai contoh, Sigit menyebut di Jawa Barat terdapat kawasan hutan lindung yang sudah menjadi areal kebun sayur. Sementara itu, di Jawa Tengah, Sigit menyebut Dieng yang sebagian kawasan hutan lindungnya sudah menjadi areal kebun kentang. 

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top