Jakarta (Greeners) – Warga pesisir mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi tersebut dianggap bisa menimbulkan kehancuran kelestarian ekosistem laut.
Peraturan itu juga tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah.
Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Amin Abdullah menilai bahwa kebijakan itu bertentangan dengan upaya-upaya pemulihan dan perlindungan kawasan pesisir serta laut. Padahal, selama ini upaya tersebut telah warga pesisir lakukan di tingkat tapak.
“Jika pemerintah mau melindungi pesisir dan laut, kebijakan yang harus didorong bukanlah penambangan pasir laut. Melainkan kebijakan yang memulihkan tiga ekosistem penting, yaitu ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, sekaligus menempatkan warga pesisir. Khususnya, nelayan sebagai pilar utama,” imbuh Amin lewat keterangan tertulisnya.
BACA JUGA: Konferensi Tenurial 2023: Kerusakan Ekologis Makin Masif
Amin yang sekaligus sebagai nelayan tradisional di Lombok Timur menegaskan, kedua regulasi tersebut akan semakin menghancurkan kelestarian ekosistem laut. Bahkan, memperburuk kehidupan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, khususnya di Nusa Tenggara Barat. Hal itu juga merujuk pada praktik penambangan pasir laut di perairan Lombok Timur untuk melayani kepentingan reklamasi di Teluk Benoa Bali beberapa tahun lalu.
“Meskipun penambangan pasir laut telah dihentikan, tetapi dampaknya masih terus terasa sampai sekarang. Nelayan yang berada di sejumlah desa di Lombok Timur, di antaranya Desa Pringgabaya, dan Labuhan Haji, harus melaut ke Perairan Sumba, Nusa Tenggara Timur, khususnya ke perairan Pulau Salura,” kata Amin.
Karena hancur lautnya, tambah Amin, nelayan di Lombok Timur harus melaut ke perairan Pulau Salura selama 20 hari sepanjang enam bulan. Waktu tersebut terhitung sejak Mei sampai Oktober setiap tahunnya.
Nelayan Tambak Rejo Tolak Penambangan Pasir Laut
Senada dengan Amin Abdullah, Marzuki, seorang nelayan tangkap di Tambakrejo, Kota Semarang, menyebutkan bahwa ia bersama ratusan nelayan di Kota Semarang dan Pantai Utara Jawa terancam oleh pertambangan pasir laut.
“Meskipun wilayah pertambangan pasir laut berada di perairan Demak, tetapi dampak ekologisnya akan terasa di seluruh Pantai Utara Jawa, khususnya di Semarang,” ujar Marzuki.
Ia mendesak pemerintah pusat untuk segera mencabut kedua regulasi tersebut. Sebab, menurut Marzuki, regulasi tersebut hanya akan menghancurkan laut yang menjadi ruang hidup ribuan nelayan di Pantai Utara Jawa.
“Saya khawatir pertambangan pasir laut akan semakin memperburuk nasib kami di Tambakrejo. Selama ini, kami telah mengalami kesulitan menangkap ikan dan semakin terpinggirkan. Hal itu akibat masifnya pipa-pipa industri di tengah wilayah tangkap nelayan dan menganggu aktivitas nelayan. Saat ini kami sudah hampir kehabisan akal,” kata Marzuki.
BACA JUGA: Perempuan Muara Gembong di Tengah Ancaman Banjir Rob
Menurut Marzuki, selain ancaman pertambangan pasir laut dan masifnya pipa industri, nelayan Tambakrejo semakin terancam juga oleh krisis iklim. Fenomena tersebut mengancam wilayahnya semakin tenggelam oleh percepatan kenaikan air laut.
“Tambang pasir laut akan mempercepat tempat kami tenggelam, sebagaimana telah terjadi di banyak desa di Pantai Utara Jawa, khususnya Demak,” tegasnya.
Penambangan Laut untuk Kepentingan Korporasi
Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin menyatakan bahwa penambangan pasir laut ini bukan untuk kepentingan pesisir, melainkan untuk kepentingan korporasi.
“Pemerintah tidak bekerja untuk menjalankan mandat konstitusi. Laut untuk rakyat, bukan untuk korporasi,” tegasnya.
Tambang laut, misalnya, hanya menguntungkan 66 perusahaan asing. Perusahaan tersebut menjadi calon pembeli pasir laut seperti Singapura, China, Johor (Malaysia), dan Brunei. Selain itu, juga perusahaan pemilik kapal isap asing seperti dari Belanda, Belgia, Jepang, Singapura, dan China.
“Langkah ini merupakan kontradiksi besar. Sebab, pemerintah sering menjual wacana ‘keberlanjutan di laut’ di berbagai forum internasional di bawah payung ekonomi biru,” ujarnya.
Menurut Parid, penambangan pasir laut ini sesungguhnya tidak menguntungkan, melainkan merugikan. Kebijakan ini juga tidak akan mampu mewujudkan Indonesia pada tahun 2045 seperti selama ini digembar-gemborkan, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Sebaliknya, lanjut Parid, melalui obral pasir laut ini, Indonesia Emas Tahun 2045 lebih layak disebut sebagai Indonesia Cemas 2045. Sebab, pertambangan pasir laut hanya akan melahirkan kerusakan ekologis yang berdimensi luas dan jangka panjang. Bahkan, hal itu bisa melanggengkan kemiskinan bagi masyarakat pesisir.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia