Jakarta (Greeners) – Laboratorium Kimia Organik Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia meneliti dua sampel air galon sekali pakai yang beredar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Hasilnya terbukti air dalam galon sekali pakai terkontaminasi mikroplastik.
Dari penelitian itu disebut, kandungan mikroplastik di dalam galon isi ulang sekali pakai akan berbahaya bagi kesehatan konsumen. Timbulan sampah dari galon sekali pakai juga akan menambah beban pencemaran lingkungan.
Tingginya minat masyarakat terhadap air minum dalam kemasan (AMDK) membuat produsen berinovasi mengeluarkan variasi produk AMDK. Salah satunya adalah kemasan galon sekali pakai. Tahun 2016, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, AMDK menjadi sumber konsumsi air minum warga Jakarta dengan persentase tertinggi dari sumber konsumsi air minum lainnya.
Selain itu, galon sekali pakai ini banyak menarik minat masyarakat karena klaim kemasan yang praktis, memudahkan, dan kualitas airnya terjaga. Namun satu hal lain yang perlu kita perhatikan adalah keamanan galon sekali pakai tersebut bagi tubuh.
“Jenis dari mikroplastiknya ini mayoritas berjenis Polietilena tereftalat (PET). Sehingga besar dugaan kami sumber dari pencemaran mikroplastik dari AMDK galon sekali pakai ini berasal dari degradasi dari kemasan plastik itu sendiri,” ungkap Peneliti plastik Greenpeace, Afifah Rahmi Andini kepada Greeners, di Jakarta, baru-baru ini.
Jenis plastik PET merupakan plastik transparan yang biasa digunakan sebagai kemasan makanan atau minuman. Karakter mikroplastik yang terkandung dalam sampel mayoritas berbentuk sepihak (fragmen) kecil berukuran 2,44 hingga 63,65 mikrometer.
Dari penelitian yang dilakukan April-Juni 2021, kedua sampel yang diteliti sama-sama terbukti mengandung mikroplastik dengan jumlah partikel berbeda. Sampel pertama 95 juta partikel per liter (5 mg per liter). Sedangkan sampel kedua 85 juta partikel per liter (0,2 mg per liter).
Untuk mengetahui dari mana saja asal kontaminasi mikroplastik, penelitian juga menganalisis sumber mata air Sentul dan mata air Situ Gunung. Keduanya mengandung mikroplastik dengan ukuran 3,20 hingga 66,56 mikrometer.
Namun kandungan mikroplastik pada sumber mata air lebih sedikit, jauh berbeda jumlah mikroplastik di AMDK galon sekali pakai. Artinya, keberadaaan mikroplastik dalam galon sekali pakai dapat berasal dari degradasi plastik kemasan itu sendiri.
Ancaman Galon Sekali Pakai Mengintai Lingkungan
Permasalahan sampah plastik di Indonesia hingga saat ini tak kunjung surut dan bahkan telah mencapai titik kritis. Di sisi lain, banyak produsen yang justru malah mengeluarkan produk-produk baru yang berpotensi menimbulkan sampah plastik seperti galon sekali pakai ini.
Afifah menegaskan, hal tersebut dapat menghambat upaya pemerintah dan semua pihak dalam menanggulangi masalah sampah plastik di Indonesia. Apalagi produsen tersebut belum memiliki skema penarikan kembali atau pengelolaan sampah kemasan galon sekali pakai tersebut.
“Tentu ini sangat kami khawatirkan produk-produk galon sekali pakai ini akan bermuara, terbuang dan mencemari lingkungan. Apalagi jika terbuang di tempat pembuangan akhir (TPA) atau berbagai segmen lingkungan lain yang tidak bisa kita pantau,” ungkapnya Afifah.
Afifah menyebut ada sejumlah langkah sebagai solusi dari permasalahan galon sekali pakai. Langkah pertama yaitu menghentikan akumulasi mikroplastik di lingkungan terlebih dahulu. Kedua, mendorong industri agar beralih menyediakan dan menggunakan model pengiriman alternatif yang dapat meminimalisir potensi mikroplastik tersebut.
Solusi selanjutnya dalam mengurangi potensi mikroplastik yaitu akan lebih baik jika masyarakat mengkonsumsi produk air yang bukan dari kemasan plastik. Misalnya seperti sumber air yang memang berasal dari tanah langsung. Hal ini juga dapat meminimalisir sampah plastik yang dihasilkan.
“Karena kalau kita mengkonsumsi produk-produk tanpa kemasan plastik tentu satu sisi potensi mikroplastiknya lebih sedikit. Dan kedua akan jauh ramah lingkungan juga karena tidak menimbulkan beban sampah plastik,” pungkasnya.
Mikroplastik Menambah Beban Lingkungan
Secara terpisah, Peneliti di Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Reza Cordova berpendapat, pada dasarnya setiap produk plastik yang bergesekan akan membuat atau menjadi sumber plastik berukuran kecil. Ukurannya dapat mencapai 0,5 centimeter (cm), 1 milimeter (mm) atau bahkan lebih kecil lagi.
“Hasil kajian World Health Organization (WHO) menyatakan banyaknya mikroplastik dari botol air minum sekali pakai,” katanya kepada Greeners di Jakarta, Minggu (3/10).
Menurut Reza, angka kandungan mikroplastik dari kajian WHO lebih dari 90 buah per liter. Angka ini jauh melebihi jumlah kandungan mikroplastik yang bisa yang berada pada makanan, air keran, seafood yang angkanya kurang dari 20 buah per liter.
“Terlebih sekarang ada tambahan info dari Greenpeace, tentu menambah masuknya mikroplastik ke dalam tubuh manusia,” ucapnya.
Reza mengungkapkan, seluruh dunia memproduksi hampir 370 juta plastik. Hampir 60 persennya adalah plastik sekali pakai dan langsung berakhir di TPA tanpa pengelolaan. Bahkan tambah peneliti mikroplastik di perairan ini, daur ulang plastik sekali pakai tersebut hanya sekitar 20 %. Lalu plastik yang kembali menjadi produk hanya 2 persennya saja.
“Sebanyak 79 % plastik yang tidak terpakai itu berakhir di TPA dan lingkungan. Lalu mau menunggu semua tercemar plastik yang nanti ujungnya akan kembali ke tubuh manusia juga?,” tuturnya.
Ia menambahkan, kurang dari 20 % plastik yang didaur ulang hampir 90 persennya adalah botol air mineral. “Lalu apakah kita mau menambah beban lingkungan lagi?,” tandasnya.
Penulis : Fitri Annisa