Kortisol: Hormon Stres yang Juga Mengatur Metabolisme Tubuh

Reading time: 3 menit
Kortisol: Hormon Stres yang Juga Mengatur Metabolisme Tubuh
Kortisol: Hormon Stres yang Juga Mengatur Metabolisme Tubuh. Foto: Shutterstock.

Pandemi Covid-19 mengubah segalanya, termasuk dengan kesehatan jiwa kita. Kecemasan kita akan tertularnya virus serta hiburan yang terbatas karena sebisa mungkin menghindari ke luar rumah, dapat membawa kita dalam kondisi tertekan, yang dapat memicu tingginya kadar kortisol.

Mengenal Hormon Stres

Kortisol dikenal sebagai hormon stres karena perannya dalam respons stres tubuh. Tetapi tak hanya itu. Sebagian besar sel di tubuh kita memiliki reseptor yang berguna untuk mengatur gula darah, mengurangi peradangan, mengelola metabolisme, dan pembentukan memori. 

Stres memicu kombinasi sinyal dari hormon dan saraf. Sinyal-sinyal ini menyebabkan kelenjar adrenal Anda melepaskan hormon, termasuk adrenalin dan kortisol. Akibatnya, detak jantung dan energi meningkat. Ini adalah cara tubuh mempersiapkan diri untuk situasi yang berpotensi berbahaya.

Kelenjar adrenal Anda terletak di atas tiap ginjal. Tumor kelenjar adrenal bisa jinak (bukan kanker) atau ganas (kanker) dan ukurannya bervariasi. Kedua jenis ini dapat mengeluarkan hormon tingkat tinggi, termasuk kortisol. Ini dapat menyebabkan sindrom cushing. Kondisi ini terjadi akibat tubuh Anda membuat terlalu banyak kortisol.

Setiap orang memiliki kortisol yang tinggi dari waktu ke waktu. Ini adalah bagian dari respons alami tubuh Anda terhadap ancaman bahaya. Tetapi memiliki kortisol tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat memiliki efek jangka panjang pada kesehatan Anda. Ini dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, dari penyakit jantung dan obesitas hingga kecemasan dan depresi. Kortisol penting untuk kesehatan Anda, tetapi terlalu banyak kortisol dapat merusak tubuh.

Berikut adalah gejala jika kadar kortisol Anda terlalu tinggi:

  1. Bertambahnya berat badan, sebagian besar di sekitar bagian tengah dan punggung atas.
  2. Jerawat.
  3. Kulit menipis.
  4. Mudah memar.
  5. Wajah memerah.
  6. Memperlambat penyembuhan.
  7. Kelemahan otot.
  8. Kelelahan.
  9. Mudah marah.
  10. Sulit berkonsentrasi.
  11. Tekanan darah tinggi.
  12. Sakit kepala.

Efek dari Kelebihan Hormon Kortisol

Delapan puluh persen populasi melaporkan stres kronis setiap hari. Menanggapi stres, membuat tubuh memproduksi hormon ini dan kadarnya bergantung pada tingkat stres. Jika stres tidak dapat teratasi dalam waktu yang relatif lama, tubuh bisa kewalahan menanganinya, sehingga kadar kortisol tetap tinggi. Tubuh menjadi tidak seimbang dan penyakit dapat mulai muncul. Ini terjadi ketika stres bersifat kronis dan konstan dalam jangka waktu yang lama.

1. Berdampak pada penyerapan Vitamin D

Delapan puluh persen populasi kekurangan vitamin D dan mengonsumsi suplemen vitamin D untuk memenuhi kebutuhan vitamin D untuk tubuh. Kortisol dan stres dapat berdampak pada kemampuan tubuh untuk menyerap dan mensintesis vitamin D. Ketika tubuh mengalami tingkat kortisol yang tinggi, VDR (atau reseptor vitamin D) akan mati. Jadi tubuh tidak bisa menyerap vitamin D dan tubuh mengeluarkannya.

2. Penurunan fungsi tiroid

Dampak tingginya kadar kortisol saat stres juga berhubungan dengan penurunan produksi tiroid. Efek jangka panjang pada metabolisme dari fungsi tiroid yang rendah dapat mengakibatkan penambahan berat badan yang signifikan yang tidak dapat diatasi oleh olahraga saja.

Ketika pelepasannya meninggi selama periode stres, tubuh melepaskan lebih banyak glukosa ke dalam aliran darah. Oleh karena itu, pankreas harus memproduksi lebih banyak insulin jika gula darah tidak digunakan. Seiring waktu, tubuh akan menyesuaikan dengan tingkat insulin yang tinggi ini dan reseptor insulin mulai mati. Inilah yang bisa menyebabkan diabetes.

3. Mengurangi kepekaan tubuh untuk merespons peradangan

Kortisol adalah zat anti inflamasi paling kuat yang diproduksi tubuh. Saat kita terluka atau memar, tubuh merespons dengan mengeluarkannya untuk mengurangi peradangan. Ketika terlalu tinggi dalam waktu yang terlalu lama, tubuh mencoba untuk menyeimbangkan dengan menurunkan kepekaan reseptor sehingga kortisol tidak mengurangi peradangan saat tidak diperlukan. Ketika reseptornya diturunkan, penyakit auto-imun dapat mulai muncul.

Kortisol: Hormon Stres yang Juga Mengatur Metabolisme Tubuh

Belajar mengendalikan stres dapat menekan hormon kortisol. Foto: Shutterstock.

Baca juga: Tujuh Cara Mengatasi Stres

Cara menormalkan kortisol

1. Menghindari Begadang kalau tiada artinya

Jam tidur, durasi tidur, dan kualitas tidur sangat berpengaruh pada hormon. Ketika bangun, usahakan aktif. Jadi, tubuh Anda akan memberi sinyal lelah dan Anda tidak sulit untuk tidur. Selain itu, pertahankan waktu tidur Anda secara konsisten. Anda juga perlu membatasi paparan cahaya dan menjauhkan hal-hal yang dapat mengganggu tidur Anda seperti telepon genggam. 

2. Olahraga, tapi tidak berlebihan

Olahraga yang intens juga bisa meningkatkan kortisol. Namun, tidak berolahraga juga berpengaruh pada kesehatan Anda. Maka dari itu lakukanlah olahraga yang sedang-sedang saja, berkisar pada 40-60% dari usaha maksimal.

3. Belajar mengendalikan stres

Kita berlatih untuk lebih perhatian terhadap diri dan lingkungan kita, misalnya dengan meditasi. Hal ini membantu kita lebih relaks, dan tidak terlalu tegang dalam menghadapi stres. Bisa juga dengan mendengarkan musik atau yoga.

4. Bersenang-senang

Berbahagia bisa membuat pelepasan hormon ini lebih rendah, serta tekanan darah yang lebih rendah, detak jantung yang sehat, dan sistem kekebalan yang kuat. Menggiati hobi yang kita sukai, meluangkan waktu bersama keluarga, atau bermain dengan binatang peliharaan juga bisa membuat kita gembira.

5. Mengonsumsi makanan yang sehat

Nutrisi yang masuk ke dalam tubuh kita juga memengaruhi kadar kortisol. Misalnya, penelitian terhadap 75 pria yang menyatakan 6 minggu minum teh hitam menurunkan kortisol, dibandingkan dengan minuman berkafein yang berbeda.

Jika Anda memiliki gejala kortisol tinggi, sebaiknya lakukan tes darah untuk mengetahui seberapa tinggi tingkatannya. Berdasarkan hasil Anda, dokter dapat membantu mempersempit penyebab yang mendasari gejala-gejala tersebut, dan membantu Anda mengembalikan tingkat hormonnya ke taraf aman.

Penulis: Agnes Marpaung

Editor: Ixora Devi

Sumber:

Healthline

Chalkboard

Top