Waspadai Obesitas pada Anak

Reading time: 3 menit
obesitas
Ilustrasi. Foto: freepik.com

(Greeners) – Penelitian menunjukkan jumlah anak-anak dan remaja yang mengalami obesitas atau kegemukan meningkat sepuluh kali lipat di seluruh dunia hanya dalam waktu 40 tahun. Berdasarkan laporan gizi global atau Global Nutrition Report (2014), Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang memiliki tiga permasalahan gizi sekaligus, yaitu stunting (pendek), wasting (kurus), dan juga overweight (obesitas).

Bisa dibilang obesitas adalah penyebab utama banyak penyakit di kemudian hari. Seperti yang dilansir pada situs IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), banyak penelitian yang menunjukkan bahwa obesitas pada masa anak berkaitan dengan kejadian obesitas pada masa dewasa.

Salah satu penelitian yang menguatkan hal ini adalah studi yang dilakukan oleh DR. Made Darawati, STP, M.Sc et al. (2016). Dari hasil penelitian dosen jurusan gizi, Poltekkes Kemenkes Mataram ini disimpulkan bahwa kegemukan, terutama obesitas, khususnya di usia rema­ja dapat berisiko 10 kali lipat daripada obesitas orang de­wasa. 

Data tahun 2013 dari WHO (World Health Organization) menunjukkan persentase obesitas anak di Indonesia termasuk tertinggi di ASEAN, yakni sebesar 12 persen. Bila dirinci, ada 17 juta anak yang mengalami obesitas di ASEAN, hampir 7 jutanya berasal dari Indonesia. Data tersebut juga didukung dengan rilis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.

Pada Januari 2017 Kementerian Kesehatan mengeluarkan rilis terkait bahaya obesitas yang kerap dimulai sejak usia dini. Data tersebut menggambarkan bahwa 8 dari 100 anak di Indonesia mengalami obesitas. Obesitas anak yang dihitung berdasarkan indeks massa tubuh dibandingkan usia (IMT/U) pada kelompok anak usia 5-12 tahun besarnya 8% dengan prevalensi tertinggi terdapat di wilayah DKI Jakarta.

Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa makin dini seorang anak mengalami obesitas, makin rendah usia harapan hidupnya akibat menderita penyakit-penyakit kronis degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, stroke dan kanker. Pada masa anak dan remaja, obesitas juga dapat mengakibatkan hipertensi, sleep apnea, masalah pernapasan, masalah postur dan perkembangan tulang ekstremitas, masalah psikososial, masalah hormonal dan sistem reproduksi, alergi dan hipersensitivitas dan masih banyak lagi.

Pola Asuh dan Anggapan yang Salah

Dari sumber yang telah dikumpulkan, faktor-faktor pemicu tingginya angka obesitas pada anak dan remaja antara lain kualitas makanan yang dikonsumsi, pola makan yang kurang baik (seperti melewatkan sarapan), kurangnya aktivitas fisik, faktor genetik, hormonal, dan lingkungan. Penderita kegemukan memiliki pertahanan antioksidan yang lebih rendah dibanding yang memiliki berat badan normal.

Selain itu pola asuh orang tua (terutama pola pemberian makan) sejak anak usia balita juga turut mempengaruhi. Mulai dari rendahnya ASI Eksklusif karena tergoda memberikan susu formula yang tinggi lemak dan mengandung gula, sampai pada pemberian makanan rendah protein namun tinggi gula, garam, dan lemak seperti yang terdapat pada makanan instan.

Hingga saat ini masih banyak orang yang berpendapat bahwa anak yang gemuk itu sehat. Menurut Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes, Doddy Izwardi, perlu adanya perubahan pemahaman di masyarakat bahwa anak yang gemuk tentu sehat. “Dahulu masyarakat bangga punya anak gemuk, pipinya montok. Tapi saat anaknya sudah besar malu ingin kurus, tapi susah,” ujar Doddy. Melihat dari kasus tersebut diperlukan upaya untuk mengurangi tingkat obesitas pada anak dan remaja.

Modifikasi Diet dengan Pangan Nabati

Darawati et al. (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Lokal sebagai Produk Sarapan untuk Remaja Gemuk”, menerangkan bahwa penanganan permasalahan obesitas atau kegemukan pada anak dan remaja dapat dilakukan dengan modifikasi diet. Diet dengan mengonsumsi pangan nabati menjadi solusi yang baik untuk mengurangi berat badan.

Beberapa studi telah membuktikan adanya hubungan yang kuat antara diet kaya pangan nabati dengan kesehatan. Pangan nabati memiliki kandungan fitokimia, vitamin, antioksidan, dan serat pangan (Darawati, et al. 2016). Disamping itu pendekatan konsumsi pangan nabati akan lebih memiliki dampak positif secara ekologis.

Bukti-bukti yang berkembang juga menunjukkan pola makan pangan nabati dapat membantu lebih baik dalam mengelola atau mengurangi risiko berkembangnya penyakit, termasuk diabetes, penyakit jantung, kolesterol tinggi, dan demensia. Ahli gizi Dr Rosemary Stanton seperti dikutip pada laman republika.co.id, mengatakan bahwa pola makan yang mengutamakan nabati, dengan atau tanpa mengonsumsi bahan pangan hewani, adalah pendekatan yang sehat.

Pangan nabati berkontribusi terhadap ke­seimbangan reaksi oksidasi reduksi dan memerangkap secara langsung atau menetralisir radikal bebas, dan anti inflamasi. Sumber pangan nabati juga mudah didapat dan diolah menjadi aneka makanan berat juga ringan yang dapat menggugah selera. Anda tidak perlu khawatir untuk mengubah bahan pangan nabati menjadi makanan yang lezat dengan memperhatikan cara memasaknya.

Penulis: Sarah R.Megumi

Top