Prof. Tukirin Partomihardjo Ajak Masyarakat Lindungi Pohon Asli Indonesia

Reading time: 5 menit
prof. tukirin partomihardjo
Prof. Tukirin Partomihardjo Ajak Masyarakat Lindungi Pohon Asli Indonesia. Foto: Istimewa.

Dalam rangka Hari Gerakan Menanam Sejuta Pohon, atau One Million Tree Movement Day pada 10 Januari, Greeners mewawancarai Profesor Tukirin Partomihardjo. Profesor di bidang studi ekologi dan evolusi ini mengingatkan kita akan pentingnya melindungi populasi pohon endemik Tanah Air yang semakin tergerus oleh pemikiran nan serba instan.

Pohon berperan penting menjaga keseimbangan alam. Semakin banyak pohon, semakin banyak pula ketersediaan oksigen bagi mahluk hidup lain. Pohon juga memiliki nilai fungsi dan ekonomi yang kaya bagi keseharian manusia.

Warga Bumi Pertiwi laiknya mendalami perhatian terhadap pohon. Pasalnya, Indonesia kaya akan jumlah maupun jenis pepohonan. Semua pihak harus mulai membentuk kesadaran untuk menanam, merawat, dan menjaga pohon.

Membaca kondisi pepohonan di Tanah Air, tidak lengkap rasanya jika belum mengenal Prof. Tukirin Partomihardjo. Ketika masih aktif meneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Tukirin mengambil pohon sebagai fokus penelitiannya.

Di usianya ke-68, Prof. Tukirin sudah pensiun sebagai peneliti. Tapi, kecintaaannya pada pohon tidak pernah surut. Kini, dia juga bergiat menjadi Ketua Forum Pohon Langka Indonesia.

“Kecintaan terhadap pohon berawal dari kecintaan saya sejak kecil, sampai saya menempuh pendidikan dan jadi peneliti,”ujar Prof. Tukirin kepada Greeners.co, Kamis, (14/1/2020).

Prof. Tukirin Partomihardjo tentang Pesona Pohon Lokal: Jati dan Ulin

Lahir di Cilacap, 18 Mei 1952, Tukirin kecil sudah belajar pentingnya menanam pohon. Dengan latar belakang petani, kehidupan keluarga Prof. Tukirin banyak ditopang dari hasil berdagang tumbuh-tumbuhan. Kedua orang tuanya juga selalu memberi dia pelajaran tentang manfaat aneka ragam flora, termasuk pohon.

“Dulu kalau sering bantu orang tua di ladang, pas ketemu bibit pohon orang tua selalu bilang ‘Jangan dibuang, biarkan tumbuh’. Kalau kira-kira tidak bisa dipertahankan, harus dipindah di pinggiran kebun agar pinggiran kebun ada pohon-pohon,”kenang Prof. Tukirin.

Perihal pohon, dia memfavoritkan pohon-pohon lokal asli Indonesia. Salah satu pohon paling berkesan baginya adalah pohon jati. Pohon yang terkenal dengan kayunya yang keras itu jadi pohon favorit di kampungnya mengingat harganya yang mahal.

“Di kampung saya diajarkan menanam jati. Waktu menikah dan bikin rumah, saya tebang pohon jatinya dan kayunya di bawa ke Bogor,”kisahnya.

Ketika menggeluti aktivitas sebagai peneliti, Prof. Tukirin menemukan jenis pohon yang membuatnya lebih terkesan dari jati. Sewaktu penelitian di Kalimantan, dia menemukan pohon Ulin atau terkenal juga dengan nama Pohon Besi. Pohon ulin, lanjut dia, memiliki kayu yang berat, keras, dan sangat awet.

Dia mengisahkan, Pemerintah Belanda ketika berada di Nusantara menjadikan ulin sebagai bantalan rel kereta, tiang listrik, dan tiang kabel telepon. Kayunya yang berat, keras, dan awet juga berguna untuk konstruksi berat. Dia menjelaskan, ulin tahan sampai ratusan tahun tanpa rusak.

Ulin sendiri tersebar di Kalimantan, Semenanjung Malaysia bagian selatan, sampai ke Sumatra Selatan. Masyarakat Kalimantan, terutama suku Dayak, memanfaatkan ulin dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari berburu sampai membangun rumah.

“Dengan keadaan seperti itu, saya merasa ini pohon benar kuat dan lambang kekuatan. Sampai sekarang buahnya dan potensinya belum digali. Setelah mengenal ulin, ulin lebih hebat dari jati. Jadi saya idolakan ulin. Tapi banyak pohon-pohon langka yang saya senang juga,”jelasnya.

prof. tukirin partomihardjo

Dia mengisahkan, Pemerintah Belanda ketika berada di Nusantara menjadikan ulin sebagai bantalan rel kereta, tiang listrik, dan tiang kabel telepon. Foto: Istimewa.

Pemikiran ‘Serba Cepat’ Bertolak Belakang dengan Filosofi Pohon

Prof. Tukirin menyadari, mengajak masyarakat peduli pohon bukanlah hal mudah. Menurutnya, masih ada masyarakat Indonesia yang menganggap pohon sumber masalah. Padahal, pohon bagian penting dalam pengendalian iklim global serta konsentrasi oksigen di udara.

Dari pantauannya, banyak masyarakat menginginkan hasil cepat atas aktivitas mereka. Sedangkan, pohon membutuhkan proses pertumbuhan yang lamban, sehingga manfaatnya baru bisa terasa di masa mendatang.

Menurut Prof. Tukirin, memang ada pohon yang cepat tumbuh, hanya saja fungsinya tentu terbatas dengan kualitas yang tidak sebagus pohon dengan proses pertumbuhan yang lebih pelan.

“Pohon baru 50 dan 100 tahun baru kelihatan (hasilnya). Dimensi waktunya tidak bisa diukur dengan umur manusia. Sebab, manusia cepat pertumbuhannya dan pendek umurnya. Pohon bisa hidup ribuan tahun,”terangnya.

Di sisi lain, jika ada masyarakat yang menanam pohon tantangan lainnya adalah ketersediaan lahan, terutama di perkotaan. Pesatnya pertumbuhan penduduk, lanjut dia, berdampak pada tergerusnya lahan bagi pohon.

Padahal, semakin banyak populasi penduduk, tentu membutuhkan ketersediaan oksigen yang berbanding lurus pula.

Cerita tentang Pohon di Jalan Protokol Ibu Kota

Lebih khusus, pakar yang menyelesaikan sekolah doktoralnya di Kagoshima University Jepang ini, mengisahkan tentang dirinya yang pernah ikut mengupayakan penyiasatan terkait penanaman pohon di kawasan perkotaan.

Waktu itu, pemerintah DKI Jakarta meminta alumni Universitas Jenderal Sudirman, Puwokerto, ini untuk bekerja sama dalam upaya penanaman pohon di kawasan pinggir jalan Ibu Kota.

Dia sudah menyarankan pilihan pohon yang tepat dan sesuai dari dalam negeri. Namun, tantangannya saat itu adalah proses pertumbuhan pohon harus cepat.

“Akhirnya waktu itu dipilih jenis-jenis tumbuhan cepat seperti trembesi, angsana, buah roda, sengon buto. Padahal jenis-jenis tersebut berbahaya kalau di pinggir jalan,” jelasnya.

Selain dari pemerintah, pengembang properti juga pernah meminta saran Prof. Tukirin untuk memilih pohon yang bagus di kawasan real estate. Lagi-lagi, masa pertumbuhan pohon menjadi masalah.

Sama seperti logika Pemerintah DKI Jakarta, pengembang juga tidak memiliki waktu untuk menanam pohon yang bertumbuh dengan lamban. Jika pengembang harus menanam pohon yang masih kecil, maka usaha mereka akan merugi.

“Mereka bilang, kalau menanam dari kecil untuk di daerah real estate yang tumbang bukan pohon, tapi perusahaan. Tidak ada (orang) yang mau beli karena lingkungan panas dan tidak ada hijaunya. Kalau pohon sudah besar kan langsung hijau sehingga menarik,”tuturnya.

prof. tukirin partomihardjo

Sama seperti logika Pemerintah DKI Jakarta, pengembang juga tidak memiliki waktu untuk menanam pohon yang bertumbuh dengan lamban. Foto: Istimewa.

Baca juga: Mbah Rono Suarakan Urgensi Menambah Jumlah Ahli Gunung Api

Prof. Tukirin Partomihardjo: Menanam Pohon Saja Tidak Cukup

Dalam memperingati Hari Menanam Sejuta Pohon, ilmuwan yang dijuluki King of Krakatoa ini mengingatkan bahwa menanam pohon saja tidak cukup. Menurutnya, semua pihak harus memelihara dan mempertahankan pohon sampai betul-betul berfungsi menjamin keseimbangan lingkungan lebih baik.

“Menanam bagus. Menjamin kelangsungan hidup tanaman dan pohon untuk keseimbangan lingkungan lebih bagus,”jelasnya.

Prof. Tukirin menjelaskan ketiga hal tersebut merupakan keharusan. Pasalnya, populasi pohon asli Indonesia sudah mulai menurun. Jenis pohon asli Indonesia mulai kehabisan habitat atau berkurang karena penebangan.

Dia menjelaskan Indonesia harus bisa meniru negara-negara lain dalam pengelolaan pohon termasuk dalam penyedian lahan tanam untuk pohon.

Beberapa neggara, lanjut dia, sudah menggunakan teknologi agar program pembangunan efisien tanpa merusak lingkungan. Menurutnya, Indonesia bisa meniru hal tersebut demi menjaga lingkungan dan keberadaan sumber daya alamnya.

“Kita sudah tahap boros dalam konsumsi sumber daya alam. Jadi harus efisien memanfaatkan sumber daya alam,” jelasnya.

Dia menambahkan, meski pengelolaan bisa meniru dari luar negeri, para peneliti tetap mendorong agar pemerintah juga lebih peduli mempertahankan spesies pohon asli Indonesia dan tidak mendatangkan pohon dari luar.

Dia berharap pohon asli Indonesia yang berada di hutan dipertahankan. Kalau pun ada pembukaan lahan untuk perumahan, sebisa mungkin harus menanam juga pohon-pohon asli Indonesia.

“Harapannya kita jangan mengidolakan jenis luar, melainkan (pohon) asli kita,”pungkasnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top