Jakarta (Greeners) – Sekar Kawung merangkul warga desa yang secara arif mengolah keanekaragaman hayati atau biodiversitas lokal menjadi bahan sandang. Dengan cinta mendalam terhadap kekayaan biodiversitas dan kebudayaan tanah air, komunitas ini membawa karya-karya masyarakat lokal dari penjuru nusantara ke dunia fesyen lestari kontemporer.
Di tengah industri fesyen yang terkenal sebagai salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia, Sekar Kawung melihat bahwa kain tradisional yang seluruhnya buatan tangan dari bahan lokal adalah sebuah solusi.
Inisiatif pengembangan ekosistem lestari dalam fesyen ini berawal dari perjalanan Chandra Kirana Prijosusilo. Ia adalah seorang perempuan yang meyakini bahwa Indonesia dapat mengembangkan ekonomi lestari yang tangguh. Keyakinannya itu didasarkan pada pentingnya merawat biodiversitas dan memupuk kebudayaan-kebudayaan lokal agar terus berkembang.
BACA JUGA: Altereco Gerakkan Aksi Pelestarian Lingkungan di Pulau Lombok
Sekar Kawung berdiri pada tahun 2015 dan mulai fokus pada pelestarian biodiversitas melalui kain tenun di desa Lambanapu Sumba Timur dan dusun Sungai Utik di Kalimantan Barat. Keduanya menghasilkan tenun-tenun warna alami. Namun, ternyata tenun Sumba Timur jauh lebih berwarna.
Sekar Kawung belajar bahwa meskipun sebagian besar Sumba Timur terdiri dari sabana yang gersang, desa-desa tenunnya cenderung rimbun seperti oasis hijau. Kerimbunan ini berkat perawatan desa-desa tenun terhadap sejumlah besar tanaman yang diperlukan untuk bahan pewarnaan alaminya.
Belajar dan Bertumbuh Lestarikan Alam
Sekar Kawung meyakini bahwa keragaman motif pada sandang mencerminkan pengaruh biodiversitas. Misalnya, kain-kain tenun dari Kalimantan Barat sering menampilkan sulur-sulur pakis yang tumbuh di hutan. Kemudian, beberapa benang terbuat dari serat daun ulap doyo, tanaman hutan lokal.
Berbeda dengan itu, kain tenun tradisional di Sumba Timur berhias motif bunga pare hutan. Bunga ini merupakan tanaman yang tumbuh di lingkungan alam mereka.
Sementara itu, di desa-desa Tuban, motif kainnya antara lain menggambarkan bunga jati, kelopak daun bunga kapas, dan burung srigunting. Seluruhnya merupakan bagian dari biodiversitas lokal yang ada di sana.
Di Sumba Timur, Sekar Kawung berkolaborasi dengan para artisan tenun. Mereka bekerja sama untuk merestorasi lahan dengan tanaman pewarna alami, sekaligus mengembangkan ekonomi desa berbasis budaya tenun.
BACA JUGA: Sentuhan Alam di Rumah Mahika: Mengukir Jejak Pangan Lestari
Proses tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari anak-anak yang berpartisipasi dalam program photovoice untuk mengenali budaya tenun dan lingkungan sekitar, hingga para tetua masih memahami makna simbol-simbol yang terlukis pada kain-kain mereka.
“Intinya, Sekar Kawung berusaha menguatkan Desa Lambanapu untuk menjadi tujuan wisata budaya tenun yang warga desa kelola,” ungkap Chandra kepada Greeners.
Chandra mengambil banyak pelajaran penting dari proses pendampingan di Lambanapu. Ia kini memahami bahwa pelestarian biodiversitas yang dibutuhkan untuk tenun juga memerlukan kepekaan dalam merawat dan mengangkat biodiversitas, yang digunakan dalam aspek-aspek budaya lainnya.
Mulai Mengenal Tanaman Kapas
Dari kolaborasi dengan para artisan tenun di Lambanapu, Sekar Kawung semakin teguh dalam keyakinannya bahwa pelestarian biodiversitas dapat terwujud melalui penguatan budaya dan pembangunan ekonomi lestari di desa-desa. Namun, pada saat yang sama, Chandra mulai menyadari kenyataan bahwa sektor tenun tradisional Indonesia tengah menghadapi tantangan besar.
“Hampir seluruh benang dalam tenun Lambanapu berasal dari benang toko, yang tentu saja terbuat dari kapas impor, mengingat Indonesia belum memproduksi kapasnya sendiri,” imbuhnya.
Proses produksi kapas impor ini sayangnya merusak sumber daya alam, mengonsumsi air dalam jumlah besar, dan menggunakan pestisida. Hal ini disayangkan karena meskipun setiap helai kain melewati proses pewarnaan alami dan dikerjakan handmade, kain-kain tersebut tidak bisa diklaim berkelanjutan.
Chandra juga menyadari bahwa fesyen adalah salah satu industri penyumbang polusi terbesar. Sekitar 9% dari total emisi dunia berasal dari fesyen. Proses produksi benang dan kain adalah bagian terbesar dari rantai pasokan yang mencemari.
Mereka akhirnya menemukan sebuah desa di Tuban, yang unik dan luar biasa. Di sana, para artisan masih menenun kain dari benang yang mereka buat sendiri. Mereka menggunakan kapas yang tertanam di tanah mereka sendiri sebagai bahan baku utama.
Kapas Tuban, dengan warna cokelat dan putih alami, adalah tanaman semusim yang dapat dipanen dalam waktu sekitar lima bulan. Hasil dari setiap helai kain tidak hanya sarat makna, tetapi juga penuh keberlanjutan.
Inovasi untuk Kemandirian Kapas
Dalam pandangan Chandra, kemandirian kapas yang para artisan di Tuban miliki ini mencerminkan kearifan lokal yang mendalam. Di tanah Tuban yang gersang, para petani menggunakan metode tumpangsari untuk menanam kapas bersama tanaman lain. Metode ini mereka lakukan di halaman rumah atau pagar pemisah lahan, tanpa mengurangi lahan untuk tanaman pangan.
Kapas ini menjadi pelengkap yang menyediakan bahan baku bagi penenun dan pembatik lokal, untuk menciptakan produk “slow fashion” berkualitas tinggi dan sepenuhnya handmade. Produk-produk ini tidak bisa diproduksi massal, bernilai jual tinggi, namun hanya bisa dibuat oleh maestro tenun gedog yang sangat terampil.
Sekar Kawung pun berinovasi untuk meningkatkan hasil kapas agar dapat menghasilkan benang pabrikan. Pada tahun 2021, mereka menanam kapas di lahan seluas 3.500 meter persegi, berpadu dengan jagung dan kacang hijau. Hasilnya, mereka panen 496 kg kapas, yang menghasilkan sekitar 230 kg serat murni setelah terpisah dari bijinya.
Kemudian, mereka mengirim kapas ini ke pabrik untuk mengubahnya menjadi benang yang lebih halus dan kuat, sehingga dapat mereka tenun dengan alat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Teknologi ATBM ini, meski masih berbasis tangan, tetapi lebih efisien dan bisa menghasilkan kain hingga 100 meter sekaligus.
Sekar Kawung pun berkolaborasi dengan penenun ATBM di Klaten, Yogyakarta, dan Pekalongan untuk menenun benang-benang tersebut menjadi kain. Desainer kemudian mengambil kain itu atau mengirimkannya kembali ke Tuban untuk dibatik oleh kaum muda setempat.
Setelah melewati perjalanan ini, Sekar Kawung akhirnya mendampingi petani kapas, pemintal benang, penenun, hingga pembatik. Mereka juga berkolaborasi dengan desainer dan jenama fesyen untuk membeli, mengembangkan produk, dan memasarkan produk yang terbuat dari kain-kain karya para artisan dampingan Sekar Kawung.
Jalin Kolaborasi
Sekar Kawung meyakini bahwa fesyen lestari pada hakikatnya harus memenuhi tiga prinsip sirkuleritas. Pertama, bahan harus alami dan dapat kembali terurai menjadi tanah. Kedua, ide-ide kreatif dan pertukaran budaya harus terus terjadi di antara semua pelaku sepanjang rantai nilai. Ketiga, keuntungan finansial harus mengalir secara sirkuler dan berkeadilan.
Dengan keyakinan tersebut, akhirnya pada tahun 2022 Sekar Kawung bekerja sama dengan jenama Lemari Lila untuk meluncurkan koleksi Mulih, yang bermakna “pulang.”
Sekar Kawung juga berkolaborasi dengan Studio Sejauh milik Chitra Subyakto, desainer fesyen dan pemilik jenama Sejauh Mata Memandang. Dalam kolaborasi ini, Sekar Kawung menyediakan kain-kain hasil karya artisan tenun dan batik Tuban.
Chandra menyampaikan bahwa Sekar Kawung berupaya membangun kesadaran bahwa fesyen lestari sesungguhnya merupakan hasil bumi yang diolah secara kreatif. Hal ini juga selaras dengan budaya lokal Indonesia, untuk menciptakan keberkahan ekonomi bersama bagi seluruh pelaku di sepanjang rantai nilai tersebut.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia