10 Hak Masyarakat Adat Terampas Akibat Proyek di Rempang

Reading time: 3 menit
Ribuan masyarakat adat di Rempang terpaksa pindah tempat akibat proyek strategis nasional. Foto: Walhi Nasional
Ribuan masyarakat adat di Rempang terpaksa pindah tempat akibat proyek strategis nasional. Foto: Walhi Nasional

Jakarta (Greeners) – Peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau patut menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Setidaknya, ada 10 hak masyarakat adat yang terampas dalam proses pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam peristiwa ini.

Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Herlambang P Wiratraman mengatakan peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rempang tanggal 7 September 2023 harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM. Hal itu sebagaimana telah tertera di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Proyek di Rempang Merampas Hak Hidup Masyarakat

“Kesepuluh pelanggaran hak ini tidak hanya terjadi di Rempang saja. Melainkan di wilayah lainnya seperti kasus PSN Bendungan Bener, di Wadas. Hal ini sangat saya sayangkan. Sebab, pemerintah justru melanggar sendiri seluruh hak yang ada dalam konstitusional negara,” kata Herlambang melalui keterangan tertulis.

Kesepuluh hak tersebut yang terampas di antaranya negara telah berdosa karena gagal menjamin hak hidup, negara membiarkan kekerasan terjadi kepada anak-anak, terjadinya pelumpuhan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga, dan tidak adanya jaminan atas hak kolektif dalam mempertahankan wilayahnya.

Kemudian, lanjut Herlambang, tidak ada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang terjamin dalam sistem hukum yang adil, terjadinya berbagai serangan siber, ada kekerasan oleh aparat dan premanisme, hilangnya hak hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ribuan masyarakat adat di Rempang terpaksa pindah tempat akibat proyek strategis nasional. Foto: Walhi Indonesia

Ribuan masyarakat adat di Rempang terpaksa pindah tempat akibat proyek strategis nasional. Foto: Walhi Nasional

Selain itu, ada pengambilalihan secara paksa hak milik pribadi dan hak lainnya, dan egara gagal menjalankan mandat konstitusional. Di antaranya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Herlambang menilai, PSN lebih mengutamakan kepentingan investasi ketimbang kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya.

“Sampai saat ini, saya masih mempertanyakan ‘ukuran’ strategis dalam mengukur program ini. Sebab, setiap proyeknya didominasi oleh politik investasi, bukan untuk kesejahteraan sosial. PSN ini sangat kental dengan capital-driven-investment. Jadi, strategis di sini itu ‘strategis untuk siapa’?” ungkap Herlambang.

7.500 Penduduk Rempang Dipaksa Pindah Tempat

Sebanyak 7.500 orang penduduk Rempang, termasuk Masyarakat Adat Tempatan dari 16 kampung Melayu Tua yang dihuni oleh Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka. Padahal, tempat tinggal tersebut sudah sejak lama mereka huni dari zaman leluhurnya.

Bahkan, waktu untuk proses pemindahan sangat cepat. Sampai dengan akhir September 2023, mereka harus pindah ke tempat relokasi sementara, yaitu rusun-rusun. Sementara, rumah pengganti belum rampung.

BACA JUGA: Delima Silalahi, Raih Goldman 2023 atas Perjuangannya untuk Masyarakat Adat

“Konflik Rempang mengakibatkan luka yang sangat besar bagi masyarakat di sana. Khususnya Masyarakat Adat Tempatan yang sudah tinggal di sana sejak tahun 1834,” ungkap Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Divisi Wilayah Kelola Rakyat (WKR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ferry Widodo.

Hilangnya Sejarah Kehidupan Masyarakat Adat Tempatan

Masyarakat Adat Tempatan yang terdampak proyek ini akan mengalami kerugian. Ferry mengatakan, mereka akan kehilangan sejarah kehidupan, ikatan sosial sesama warga, dan ikatan ekonomi. Termasuk hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan peladang yang telah berlangsung secara turun temurun.

“Masyarakat Adat Tempatan memiliki nilai sejarah yang kaya, sistem sosial yang menjaga alam tetap lestari, serta sudah sejak dulu berkontribusi dalam menjaga ekosistem pantai. PSN justru melegalkan upaya perusakan lingkungan melalui pembangunan industri kaca yang akan merusak ekosistem kelautan,” kata Ferry.

BACA JUGA: Dana Nusantara Dorong Masyarakat Adat Lebih Sejahtera

Menurut Ferry, PSN Rempang Eco-City seolah mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat Tempatan dengan mengakui keberadaan mereka yang sudah lama mendiami wilayah tersebut.

Sebagai masyarakat adat yang sudah mendirikan kampung di Pulau Rempang, sebetulnya penghidupan dan hak mereka sudah dijamin dalam SK Walikota Batam Nomor: KPTS 105/HK/III/2004 dan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam pada pasal 21 ayat 4.

“Saya melihat fenomena kejahatan kemanusiaan terjadi kepada masyarakat dengan adanya tindak kekerasan dan pemaksaan untuk direlokasi. Hal ini berpotensi menghilangkan identitas Masyarakat Adat Tempatan itu sendiri,” ujar Ferry.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top