Pilkada Masih Jadi Ajang Politik Penjarahan Sumber Daya Alam

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Penjarahan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia hampir selalu berkaitan dengan proses politik yang sedang berlangsung. Tidak terkecuali dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam Pemilihan Kepala Daerah, banyak kepala daerah maupun partai politik yang memanfaatkan potensi pertambangan untuk mendulang dana politik melalui transaksi perizinan.

Manajer Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Ki Bagus Hadikusumo mengatakan, praktik politik penjarahan dalam Pilkada Langsung ini tidak lepas dari kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan oleh Kepala Daerah, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sejak berlakunya UU No. 4/2009, tercatat hampir 7.000 IUP baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dalam kurun waktu empat tahun hingga 2013. Semangat otonomi daerah yang kebablasan dan tak terkontrol inilah yang turut mendorong perampasan ruang hidup dan keselamatan warga akibat eksploitasi SDA.

“Tidak heran jika kita melihat dalam lima tahun terakhir, perizinan usaha pertambangan banyak dikeluarkan menjelang Pilkada dan sesaat setelah Pilkada, seperti yang terjadi di Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan lain-lain,” terangnya kepada Greeners, Jakarta, Selasa (08/12).

Ki Bagus juga menyatakan ancaman politik penjarahan juga akan muncul dalam pelaksanaan Pilkada Serentak pada 9 Desember 2015 (hari ini) yang digelar di sembilan provinsi, 219 kabupaten dan 33 kota di Indonesia. Berkaca pada proses pilkada-pilkada sebelumnya, industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan dan kehutanan menjadi mesin uang paling efektif bagi para kandidat maupun partai politik untuk mengumpulkan dana politik secara instan.

Menurut Ki Bagus, banyak faktor yang menjadikan Pilkada serentak ini sebagai ajang politik penjarahan. Pertama, permasalahan pembiaran pelanggaran hukum terutama dalam sektor pertambangan kerap terjadi, bahkan sejak dalam perizinan. Misalnya, perusahaan tambang yang tidak memiliki kelengkapan izin, menyerobot kawasan hutan, bahkan tidak memiliki NPWP. Pembiaran pelanggaran hukum inilah yang berpotensi menjadi ajang tawar-menawar kesepakatan politik antara perusahaan dan Kepala Daerah incumbent ataupun yang telah terpilih.

Kedua, tidak adanya mekanisme kontrol yang kuat untuk menindak pejabat pemberi izin maupun perusahaan tambang. Hingga saat ini, pelanggaran pertambangan adalah salah satu sektor yang jarang tersentuh oleh hukum. Bahkan dalam kasus korupsi pertambangan yang sempat digaungkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Koordinasi dan Supervisi Minerba, disebutkan 4.563 IUP yang tidak berstatus Non Clear and Clean akibat tumpang tindih lahan hingga tidak mengantongi NPWP.

Namun, tambahnya, dari ribuan izin bermasalah tersebut, hanya 1.087 izin yang dicabut, itu pun hampir 95% hanya berstatus izin eksplorasi. Belum lagi dalam kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan, penyelesaian kasusnya kerap berakhir dengan kriminalisasi bagi warga penolak tambang.

“Dengan kata lain, pelaksanaan Pilkada serentak mulai Desember 2015 ini tidak akan memberikan perubahan signifikan dalam pengelolaan SDA. Selama permasalahan pembiaran hukum masih terus terjadi serta tidak adanya mekanisme kontrol yang melibatkan warga, maka politik penjarahan masih akan terus terjadi. Dengan pelaksanaan Pilkada serentak, ditambah pelimpahan pemberian izin ke Pemerintah Provinsi, maka akan terjadi euforia pengobralan izin pertambangan oleh pemerintah provinsi, sebagaimana yang pernah terjadi pada Pemerintah Kabupaten pasca diterbitkannya UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” tegas Ki Bagus.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan juga mengakui bahwa tidak ada tendensi atau arahan yang memperlihatkan kalau Pilkada serentak akan memberikan perubahan yang signifikan dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Bahkan, dari beberapa diskusi yang dilakukan oleh Walhi di beberapa daerah, Abet menegaskan bahwa belum ada calon kepala daerah yang benar-benar mengerti dan peduli terhadap lingkungan.

“Akan menjadi hal yang penting bagi masyarakat untuk mengetahui dan mengenal track record para calon pemimpin daerahnya. Kami mendorong tagline ‘Jangan Pilih Pemimpin yang Merusak Lingkungan’. Itu terus kami lakukan karena saat melakukan kampanye itu, kami menemukan bahwa banyak calon kepala daerah yang masih dalam tahap ‘aware’ saja,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top