Aceh Rugi Rp 122 Milyar Akibat Bencana Ekologi

Reading time: 2 menit

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyatakan sepanjang tahun 2014 telah terjadi berbagai bencana ekologi di Provinsi Aceh yang disebabkan oleh lahirnya kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) yang tidak berpihak pada lingkungan. Kebijakan yang menyangkut sektor kehutanan, pertambangan, maupun pembangunan tersebut mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan Aceh semakin rawan terjadi.

Direktur Walhi Aceh, M. Nur kepada Greeners mengatakan, MoU atau Memorandum of Understanding dari Reducing Emission From deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) Aceh yang menjadi salah satu kebijakan yang digadang-gadang dilakukan untuk penyelamatan hutan Aceh, justru malah kontradiksi dengan adanya pelepasan kawasan hutan Aceh melalui SK Menhut 941/2013.

“Walhi Aceh mencatat bencana ekologi Aceh yang terjadi sepanjang 2014 dan tersebar di 12 Kabupaten/Kota dengan catatan; banjir sebanyak 31 kasus, longsor 15 kasus, kebakaran hutan 20 kasus, abrasi 9 kasus, erosi 7 kasus, angin kencang 14 kasus, serta kekeringan 20 kasus. Total kerugian yaitu sebesar Rp 122.716.200.000,” tuturnya.

Lalu, di sektor perkebunan misalnya, tambah Nur, terdapat 236 izin Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) di Aceh sejak 1989-2010 dengan luas 20.821 hektar di areal hutan lindung yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit di 11 kabupaten/kota.

Sedangkan pada sektor pertambangan, lanjut Nur, ada 136 konsesi pertambangan dari berbagai komoditas di 15 Kab./Kota yang di mana terdapat 52 perusahaan aktif, namun 28 di antaranya tercatat habis izin berlaku pada tahun 2014 dan 15 di antaranya yang menggunakan kawasan Hutan Lindung (HL), dan 8 menggunakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai lahan eksplorasi maupun operasi.

“Dari 136 konsesi, hanya satu yang memiliki Surat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Kementerian Kehutanan,” tegas Nur, Jakarta, Rabu (24/12).

Terkait permasalahan di sektor kehutanan, menurut Nur, sepanjang tahun 2014 telah banyak terjadi kegiatan pembukaan lahan perkebunan di beberapa kawasan di Aceh atas izin dari bupati tanpa rekomendasi gubernur. Bahkan, beberapa perusahaan bisa beroperasi walaupun belum memiliki izin.

Selain itu, pembangunan jalan yang memakai kawasan hutan lindung serta rusaknya 20 hektar hutan lindung akibat penambangan batu giok di Gunung Singgah Mata, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya menjadi masalah yang harus diperhatikan.

“Ini disebabkan oleh penggunaan alat berat untuk mengambil batu giok hingga merusak sumber air dan alur sungai di kaki gunung Singgah Mata dan reklamasi rawa Trumon,” tambahnya.

Nur melanjutkan, untuk konflik satwa dan manusia, jumlah terbesar terjadi antara manusia dan gajah, yaitu sebanyak 28 kasus. Konflik ini terus meningkat tiap tahun karena jalur tempat tinggal gajah diganggu oleh manusia. Sedangkan untuk total kawasan habitat satwa yang diganggu oleh manusia secara keseluruhan sejumlah 780.409,31 ha.

Sebelumnya, Walhi Aceh bersama dengan 16 organisasi masyarakat sipil telah memberikan Kertas Posisi CSO terhadap Kinerja Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini-Muzakkir selama 2,5 tahun terakhir. Momen ini berlangsung di Pendopo Gubernur Aceh, pada Selasa 16 September 2014 lalu.

Dalam pertemuan ini, WALHI bersama 16 CSO Aceh berkonsolidasi mendorong pemerintah Aceh memperbaiki tata Kelola sumberdaya alam, hukum dan demokratisasi, serta penyelesaian kasus HAM, perempuan dan anak.

Pada pertemuan tersebut, Gubernur dan Kepala DPRA memberikan komitmen untuk menjalankan kebijakan dengan mempertimbangkan partisipasi aktif elemen sipil guna tercapainya kebijakan yang selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan di Aceh.

(G09)

Top