RZWP3K Dinilai Belum Memperhatikan Kedaulatan Masyarakat Pesisir

Reading time: 2 menit
masyarakat pesisir
Ilustrasi. Foto: pixabay

Jakarta (Greeners) – Saat ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedang memproses Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di seluruh provinsi di Indonesia. RZWP3K diharapkan bisa menjamin kedaulatan masyarakat pesisir, namun masih ada hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkannya karena ada beberapa catatan yang dinilai merugikan ruang hidup masyarakat pesisir.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, mengatakan bahwa perumusan RZWP3K tidak melibatkan nelayan sehingga interpretasi hanya dari pemerintah provinsi. Ia juga menyoroti Pemprov Jawa Tengah yang menggunakan data tahun 2013 dari Badan Informasi Geospasial (BIG), dimana data tersebut sudah berbeda dengan keadaan lapangan saat ini.

“Jadi diharapkan dari perumusan RZWP3K harus memastikan tidak ada pelanggaran hak konstitusional masyarakat pesisir. Kepastian zonasi memang untuk kedaulatan kita, bisa mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir, tapi tidak boleh ada kata tertinggal bagi partisipasi masyarakat pesisir di dalam rumusan Perda RZWP3K. (Nelayan) harus dilibatkan dari awal, dipastikan waktu yang cukup, tidak tergesa-gesa, dan tidak membuat nelayan kesulitan untuk mengirimkan masukan,” kata Susan saat dihubungi Greeners.co melalui telepon, Jakarta, Senin (13/03/2018).

BACA JUGA: KKP Targetkan Penyelesaian 27 Kawasan Strategis Nasional Tahun Ini

Terkait penggunaan data lama dari BIG, Sugeng Triyanto, seorang nelayan tradisional yang bergabung dalam Forum Nelayan Jawa Tengah pun meminta agar pemerintah daerah menggunakan data terbaru untuk mencegah kesalahan pemetaan yang akan berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir.

“Kawasan pesisir kita dari tahun 2013-2018 banyak yang terkikis. Jika memakai data tahun 2013 dari BIG, banyak kawasan yang sudah terkikis jadi tidak relevan dengan apa yang ada di lapangan karena luas lautan 0 hingga 2 mil untuk perairan ikan, 2 mil ke atas untuk nelayan menangkap ikan atau juga bisa untuk pertambangan. Yang ditakutkan nelayan, pertambangan 2 mil pada tahun 2013 itu masyarakat masih di tepi, tapi kalau tahun 2018 sudah terkikis. Kalau data BIG itu dipakai bisa menggusur permukiman masyarakat pesisir,” kata Sugeng.

BACA JUGA: Badan Otoritas Pariwisata Dianggap Merampas Wilayah Kelola Masyarakat

Menanggapi hal ini, Direktur Perencanaan Ruang Laut Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Suharyanto mengatakan bahwa KKP akan membantu nelayan menyesuaikan diri.

“Dalam prosesnya nanti nelayan akan beralih pekerjaan, karena sesuatu atau lain hal. Kami akan membantu dengan peralihan, seperti nelayan tidak mengalami penurunan minimum pendapatan atau tidak ada pengangguran tetapi memang tidak semudah itu. Jangan sampai berkontradiksi dengan kaidah-kaidah dasar di dalam perencanaan ruang laut, yaitu sustainability sumber daya di laut itu sendiri,” ujar Suharyanto.

Ia juga menjelaskan bahwa konteks nelayan ada di UU Nomor 23 Tahun 2014 bahwa menjadi kewenangan pemerintah provinsi di dalam rencana menyusun zonasi yang mempunyai ketentuan dari tahapan awal sampai tahapan penentuan perencanaan ruang di dalam wilayah perairan itu sudah diatur dalam Permen KP Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

Penulis: Dewi Purningsih

Top