Pakar: UU Cipta Kerja Lemahkan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup

Reading time: 4 menit
Pakar: UU Cipta Kerja Lemahkan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup
Pakar: UU Cipta Kerja Lemahkan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mencatat Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tidak mengadopsi prinsip dan asas pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan. Hal ini berbeda dengan undang-undang sektoral terkait pengelolaan sumber daya alam yang ada sebelumnya. ICEL menyimpulkan implementasi UU Cipta Kerja dapat melemahkan instrumen perlindungan lingkungan hidup.

Alih-alih menyatukan beberapa undang-undang, UU Cipta Kerja malah memotong berbagai prinsip dasar lingkungan hidup. Baik itu yang berada di dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kehutanan, perkebunan, penataan ruang maupun dalam konteks kewenangan daerah.

“Kalau kemudian diringkas, hal pertama yang paling berisiko hilang itu direduksinya prinsip-prinsip pertanggungjawaban mutlak dan kejahatan korporasi. Pasal 88 UU 32/2009 yang akhirnya di UU Cipta Kerja ada kalimat yang dihilangkan ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’. Padahal, kalimat itu membuat putusan dan gugatan pemerintah melawan korporasi,” ujar Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana, saat dihubungi Greeners melalui telepon, Rabu (07/10/2020).

Sebagai contoh, Wahyu lalu menyebut kasus karhutla. Dari tahun 2015 hingga 2018 total deposit kemenangan pemerintah mencapai Rp18 triliun. Wahyu melanjutkan, dengan hukum yang sudah cukup dan mumpuni, perusahaan yang membayar tidak sampai 1 persen. Omnibus Law, ujarnya, tidak mencantumkan implementasi pertanggungjawaban yang mutlak untuk dipenuhi oleh korporasi. Malah, kewajiban korporasi dipotong.

Baca juga: Berpotensi Rusak Hutan, Investor Global Kritik Omnibus Law

UU Cipta Kerja Pangkas Akses Partisipasi Masyarakat

Lebih jauh, ICEL mengeluarkan analisis berjudul “Berbagai Problematika Dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam”. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Grita Anindarini atau biasa disapa Aninda, mengatakan UU Cipta Kerja yang menjadi referensi ICEL adalah dokumen yang disahkan dalam sidang paripurna. Pengecekan terhadap keabsahan UU Cipta Kerja yang mereka analisis disesuaikan dengan pantauan ICEL terhadap sidang panja DPR  melalui siaran TV Parlemen dan kanal informasi lainnya.

“Pada analisis ini, kami fokus kepada pasal-pasal UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ada di UU Cipta Kerja. Dari awal yang tidak ada perubahan itu pada pasal 38 dan 39 yakni hak akses masyarakat terhadap partisipasi, informasi, dan keadilan yang mengalami pereduksian signifikan bahkan sampai penghapusan,” terang Aninda.

Aninda menjelaskan, UU Cipta Kerja dengan signifikan mengurangi akses partisipasi. Akses dibatasi kepada masyarakat yang terdampak langsung. Padahal, menurutnya, jika sudah terkait lingkungan hidup dampak yang ditimbulkannya sangat luas.

UU Cipta Kerja Persulit Akses Masyarakat untuk Menggugat

Analisis ICEL juga mendapati akses informasi, termasuk semua persetujuan izin lingkungan hidup, diumumkan secara online.  Hal ini kontraproduktif bila mengingat banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses internet. Aninda menekankan akses informasi seharusnya diterima dan dipahami masyarakat dengan cara yang lebih mudah.

“Hal terparahnya adalah informasi yang diberikan itu hanya informasi persetujuan lingkungan yang sudah difinalkan. Padahal di UU 32/2009 persetujuan lingkungan itu akses informasinya dari saat permohonan awal, proses hingga finalnya wajib untuk diumumkan. Jadi, masyarakat sudah mulai mengetahui sejak awal jika ada pembangunan atau masalah lingkungan di sekitar mereka,” terang Aninda.

Pakar: UU Cipta Kerja Lemahkan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup

Wahyu Perdana menilai Omnibus Law tidak mencantumkan implementasi pertanggungjawaban yang mutlak untuk dipenuhi oleh korporasi. Foto: Shutterstock.

Aninda meneruskan, dihapusnya izin lingkungan juga berdampak terhadap potensi hilangnya akses masyarakat untuk menggugat. Termasuk hilangnya kesempatan berpartisipasi dalam mengajukan keberatan dan penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, pengecualian atas larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional juga dihapus. Hal ini berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pemindahan beban pertanggungjawaban.

Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja Merosot

Berbeda lagi dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, lanjut Aninda. Permasalahan utama pada UU Cipta Kerja bila dikontraskan dengan UU ini, tuturnya, adalah dihapusnya batas minimal 30 persen kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan atau pulau. Selain itu terdapat pengecualian bagi masyarakat adat yang memanfaatkan hutan di kawasan hutan. Masyarakat adat yang memanfaatkan hutan diberi prasyarat telah 5 tahun berturut-turut melakukannya dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan.

Aninda mengatakan, dalam UU Cipta Kerja pengaturan dan penerapan asas pembangunan berkelanjutan terlihat merosot. Misalnya, jika membandingkan UU Cipta Kerja dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pemerintah memberikan berbagai keistimewaan kepada Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk untuk menabrak perencanaan tata ruang nasional. Padahal, lanjut Aninda, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional disusun dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Baca juga: Mosi Tidak Percaya, Fraksi Rakyat Indonesia Tuntut DPR Batalkan Omnibus Law

UU Cipta Kerja Perlicin Izin Sektor Perusak Hutan 

Analisis ICEL juga membandingkan UU Cipta Kerja dengan PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP OSS) yang memperlemah posisi Amdal dari syarat penerbitan izin menjadi pemenuhan komitmen yang dapat dilakukan setelah izin terbit.

Di tengah pencemaran kerusakan lingkungan hidup dalam berbagai proyek pembangunan industri dan infrastruktur, UU Cipta Kerja mendegradasi izin lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan sebagai syarat perizinan berusaha. UU Cipta Kerja pun tidak mewajibkan semua kegiatan berusaha mendapatkan “izin”, tergantung pada risiko yang prasyaratnya belum jelas.

“Pada akhirnya, berbagai kelonggaran persyaratan lingkungan hidup bagi pelaku usaha dalam UU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan eksternalitas negatif yang mengancam keadilan bagi generasi mendatang. Indonesia tengah mengalami berbagai krisis lingkungan hidup,” ujar Aninda.

Selain kebakaran hutan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat pertambangan terus terjadi. Hingga Februari 2020, total telah terdapat 37 orang korban meninggal karena tenggelam pada bekas galian lubang tambang di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara justru memberikan “karpet merah” bagi pelaku usaha pertambangan. Sementara itu, UU Cipta Kerja justru memberikan stimulus royalti 0 persen bagi pengusaha batubara melakukan peningkatan nilai tambah.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top