BMKG Menyempurnakan Sistem Peringatan Dini Tsunami Nontektonik

Reading time: 4 menit
Sistem peringatan dini tsunami nontektonik akan diperkuat oleh BMKG
Sistem peringatan dini nontektonik akan diperkuat BMKG. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan BMKG bersama kementerian/lembaga melakukan penyempurnaan dan pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS) khususnya untuk antisipasi tsunami nontektonik.

Fenomena tsunami nontektonik terjadi beberapa kali di Indonesia. BMKG mencatat lebih dari 90% tsunami diakibatkan oleh fenomena tektonik atau kegempaan. Sistem peringatan dini masih terbatas memberi peringatan dini tsunami tektonik yang disebabkan gempabumi.

Dwikorita mengungkapkan, tsunami nontektonik pernah terjadi di Pandeglang, Selat Sunda, Banten tahun 2018. Erupsi Gunung Api Anak Krakatau memicu longsor lereng gunung ke laut yang kemudian terjadi tsunami.

“Terbaru, adalah saat terjadinya gempabumi magnitudo 6,1 di Pulau Seram Maluku Tengah, 16 Juni lalu yang juga mengakibatkan longsor lereng pantai sehingga berdampak tsunami dengan kenaikan muka air laut sekitar 50 cm,” katanya dalam siaran pers di Jakarta, Senin (20/9).

Menurutnya, umumnya gempabumi dengan magnitudo 6,1 di laut dekat pantai belum mampu membangkitkan tsunami. Namun nyatanya mampu mengakibatkan longsor pantai ke laut pada lereng pantai dengan batimetri curam dan akhirnya memicu tsunami kecil.

Potensi Tsunami Nontektonik Tersebar di Indonesia

BMKG melakukan penyempurnaan sistem peringatan dini tsunami sebab beberapa wilayah di Indonesia memiliki potensi kejadian serupa.

Selat Sunda, Kota Palu Sulawesi Tengah, Pulau Seram Maluku Tengah, beberapa titik di wilayah Indonesia Tengah dan Timur, termasuk Pulau Lembata Nusa Tenggara Timur (NTT) berpotensi mengalami tsunami nontektonik.

Wilayah-wilayah tersebut memiliki banyak gunung api laut, palung laut atau patahan darat sampai ke laut. Kondisi ini menimbulkan potensi tsunami nontektonik atau atypical. Waktu datang gelombang tsunami 2 sampai 3 menit (tsunami cepat) mendahului sirine peringatan dini berbunyi.

Sejarah mencatat, bencana alam tsunami nontektonik yang menelan korban jiwa sangat besar pernah terjadi sekitar 8 kali, yaitu Tsunami G. Gamkonora (1673), Tsunami G. Gamalama (1763), Tsunami G. Gamalama (1840), Tsunami Gunung Awu (1856), Tsunami Gunung Ruang (1871), Tsunami G. Krakatau (1883), Tsunami G. Rokatenda (1928) dan Tsunami Waiteba NTT akibat longsor tebing pantai (1979).

tsunami

Salah satu wilayah di kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten yang porak poranda setelah terkena terjangan tsunami pada Sabtu (22/12/2018). Foto: BNPB

Peringatan Dini Tsunami Butuh Teknologi Andal

Dwikorita sebagai Chair Intergovernmental Coordination Group Indian OceanTsunami Warning and Mitigation System (ICG IOTWMS) sejak 2019 lalu mendapat amanat memimpin koordinasi sistem peringatan dini dan mitigasi tsunami di 28 negara. Menurutnya, di sepanjang Pantai Samudra Hindia belum ada negara yang memiliki sistem peringatan dini tsunami nontektonik yang andal, cepat, tepat dan akurat.

Teknologi pemodelan tsunami kebanyakan berdasarkan perhitungan/analisis terhadap aktivitas tektonik atau kegempaan (earthquacke centris). Dunia global masih menghadapi tantangan ini. BMKG bersama para ahli/pakar, serta akademisi kampus dan perguruan tinggi dalam dan luar negeri, berupaya mengembangkan sistem peringatan dini tsunami nontektonik berbasis kajian ilmiah dan keilmuan.

“Kami rutin menggelar focus group discussion bersama para ahli dan pakar gempa dan tsunami dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga kajian ilmiah seperti LIPI dan BPPT. Diskusi juga dilakukan dengan pakar dari United States Geological Survey (USGS), GFZ Jerman, GNS Science New Zealand, perguruan tinggi/lembaga riset di Jepang, Australia, India, Inggris dan Amerika. Semoga sistem peringatan dini tsunami nontektonik bisa segera tercipta,” paparnya.

Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan mitigasi ataupun sistem peringatan dini memerlukan sinergi yang terintegrasi. Perpres No 93 tahun 2019 tentang InaTEWS menginstruksikan kolaborasi, integrasi terus-menerus dan berkelanjutan berbagai pihak dari pusat hingga daerah.

Sistem peringatan dini terdiri dari bagian hulu dan hilir. BMKG di pusat mengkoordinasikan di bagian hulu. BMKG mendesiminasikan informasi ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana, TNI, Polri, media, serta ke pemerintah daerah atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

BNPB meneruskan informasi BMKG ke BPBD atau Pusdalops, lalu ke warga masyarakat yang terdampak di hilir.

Masyarakat Memerlukan Kecepatan Peringatan Dini Bencana

Sistem peringatan dini masih menemui kendala di lapangan. BPBD belum beroperasi 24 jam 7 hari. Akibatnya, masyarakat tidak cepat menerima sebaran informasi peringatan dini bencana tersebut.

“Padahal, tidak jarang kejadian bencana alam di luar jam kerja kantor. Habis magrib, dini hari, atau saat akhir pekan. Jadi, idealnya memang BPBD beroperasi full selama 7 hari 24 jam, sesuai dengan amanah di dalam Perpres No 93 tahun 2019, agar pesan peringatan dini dari BMKG tidak terputus di tengah jalan,” ungkap Dwikorita.

Di sisi lain penyebaran sistem peringatan dini gempabumi dan tsunami terganggu saat sistem komunikasi seperti BTS lumpuh sesaat terjadinya gempabumi.

Ia pun memiliki harapan, sistem komunikasi diperkuat dengan satelit khusus untuk mitigasi atau pencegahan bencana yang tarifnya terjangkau.

“Saat ini kami masih berupaya untuk mewujudkan hal tersebut, dengan terus menjalin komunikasi dan berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo,” ucapnya.

Pemeliharaan sirine juga membutuhkan keterlibatan dan peran aktif pemerintah daerah. BMKG telah memasang 52 sirine sepanjang 2008 – 2015. BMKG menghibahkan 6 sirene ke Pemprov Sumbar dan 9 sirene ke Pemprov Bali.

Dwikorita menjelaskan, keberadaan sirine sangat penting. Sirine menjadi bagian dari rangkaian sistem peringatan dini yang juga meliputi peta bahaya tsunami, peta evakuasi serta sarana prasarana evakuasi seperti jalur evakuasi, rambu evakuasi dan shelter tempat pengungsian.

BMKG terus mengedukasi masyarakat tidak hanya bergantung pada sirine mengingat tsunami bisa lebih cepat terjadi. Guncangan tanah kuat menjadi salah satu alarm peringatan dini.

“Masyarakat, utamanya di daerah pesisir pantai harus mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi, jika merasakan guncangan atau ayunan tanah yang menerus selama beberapa detik, tanpa harus menunggu sirine berbunyi. Guncangan atau ayunan tanah tersebut dapat diakibatkan oleh gempabumi atau longsor tebing pantai ke laut ataupun longsor laut,” paparnya.

Sistem peringatan dini juga memberi ruang kearifan lokal seperti kentongan, pengeras suara di masjid menjadi sarana memperkuat mitigasi bencana.

Penulis: Ari Rikin

 

Top