BPPT Kembali Ingatkan Pentingnya Alat Deteksi Tsunami

Reading time: 2 menit
alat deteksi tsunami
BPPT Kembali Ingatkan Pentingnya Alat Deteksi Tsunami lustrasi. Foto: Pixabay

Jakarta (Greeners) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT Hammam Riza mengatakan perlunya teknologi peringatan dini Buoy dan Cable Based Tsunameter (CBT). Pasalnya, saat ini Indonesia tidak mempunyai sama sekali alat pendeteksi dini tsunami karena diketahui Buoy yang dipasang pemerintah Indonesia sudah rusak ataupun hilang akibat vandalisme.

“Terjadinya tsunami yang ada di Selat Sunda ini kembali menyadarkan kita akan pentingnya teknologi yang mampu mengurangi dampak kebencanaan. Sesegera mungkin Indonesia harus membangun fasilitas alat deteksi tsunami. Ada dua pilihan, yakni menggunakan Buoy Tsunami ataupun CBT. Kami siap jika diminta untuk segera membangun kembali fasilitas alat deteksi dini tsunami tersebut,” ujar Hammam saat dihubungi Greeners melalui telepon, Senin (24/12/2018).

Hammam mengatakan saat ini alat yang digunakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk mengantisipasi atau memprediksi tsunami hanya alat-alat model atau simulasi saja, bukan alat seperti Buoy atau alat yang memang difungsikan sebagai pendeteksi tsunami.

“Kemarin BMKG tidak bisa mengatakan ada tsunami karena alat yang digunakan BMKG hanya seismograf pendekteksi gempa dan pengukur gelombang pasang surut yang tidak menunjukkan apa-apa soal tsunami, dan hanya mengeluarkan peringatan untuk gelombang tinggi. Seharusnya seismograf milik BMKG ini dilengkapi dengan sensor lainnya seperti Buoy dan CBT supaya bisa mendeteksi bencana yang lain seperti tsunami,” jelas Hammam.

BACA JUGA: BMKG: Tsunami di Selat Sunda Bukan Karena Gempa Bumi 

Hammam menjelaskan bahwa pada tahun 2006 di Selat Sunda sudah dipasang Buoy tapi alat itu hilang. Kemudian pada tahun 2007 dipasang kembali oleh BPPT namun beberapa waktu kemudian Buoy itu rusak.

“Bukan di Selat Sunda saja, tapi di seluruh Indonesia sudah tidak ada Buoy yang aktif maupun beroperasi. Mungkin masih ada, itu juga milik Australia yang dipasang di Samudera Hindia dan Buoy milik Amerika di Samudera Pasifik,” ujar Hammam.

Selain Buoy, BPPT saat ini juga sedang mendorong teknologi CBT, yakni kabel laut yang dipasang di dasar laut dan dapat mengantarkan data tsunami menggunakan satelit lebih cepat daripada menggunakan Buoy. Diakui Hammam, jika CBT ini lebih mahal daripada Buoy, tapi dari segi pemeliharaan lebih terjangkau.

“Modalnya memang lebih mahal daripada Buoy, tapi untuk perawatannya lebih murah daripada Buoy. Solusi teknologi CBT ini kita buat untuk alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi Buoy, yakni vandalisme dan mahalnya Buoy. Kita harus lebih advance dalam mengantisipasi bencana dengan menggunakan teknologi. Selain itu, sinergi dan komitmen yang kuat antar berbagai pemangku kepentingan juga dibutuhkan. Teknologi mampu berperan signifikan dalam upaya mengurangi risiko bencana,” ujar Hammam.

BACA JUGA: LIPI: Belum Ada Teknologi yang Mampu Secara Akurat Mendeteksi Gempa 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan khusus mengenai solusi jangka panjang dalam menghadapi bencana alam, pemerintah sedang merancang kebijakan yang lebih terintegrasi dan holistik di bawah koordinasi Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman. Poin dalam kebijakan tersebut termasuk peningkatan teknologi alat deteksi dini tsunami yang dikembangkan oleh BPPT.

“Alat rancangan BPPT ini bagus hanya saja selama ini belum dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, untuk dana sendiri bisa kita pakai dana APBN atau tawaran dari World Bank dengan Asian Development Bank, kita lihat mana yang paling baik,” ujar Luhut pada siaran pers yang diterima oleh Greeners pada Senin (24/12/2018) malam.

Luhut juga mengatakan bahwa Kemenko Maritim sudah mengadakan rapat bersama dengan instansi terkait untuk mempercepat kebijakan berbentuk Perpres ini yang rencananya akan diselesaikan pada Januari 2019. Langkah selanjutnya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat Rapat Kabinet Terbatas.

Penulis: Dewi Purningsih

Top