BPPT Siapkan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Antisipasi Dampak La Nina

Reading time: 3 menit
BPPT Siapkan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Antisipasi La Nina
Proses modifikasi cuaca: Tim BPPT beserta TNI menyiapkan garam (NaCl) untuk menyemai awan. Foto: BPPT.

Jakarta (Greeners) – Indonesia mesti bersiap menghadapi dampak buruk dari La Nina. Fenomena alam ini diprediksi meningkatkan akumulasi kenaikan curah hujan Tanah Air hingga 40 persen. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi Puncak La Nina di antara Desember 2020 hingga Januari 2021, seiring masuknya musim hujan. Tanpa antisipasi yang serius, Tanah Air harus bersiap menghadapi bencana hidrometeorologi di antaranya banjir, banjir bandang, dan longsor.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) turut terlibat dalam penanganan bencana hidrometeorologi pada musim hujan yang bersamaan dengan fenomena La Nina kali ini. Melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BB-TMC), BPPT menyiapkan teknologi untuk memperkecil kerugian akibat La Nina. Salah satu upaya BPPT yakni menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

“TMC sudah diterapkan sejak tahun 1979-an. Tiap tahunnya kita melaksanakan operasi TMC untuk keperluan menangani bencana hidrometeorologi. Secara regional dan global sudah ada tanda bahwa akan terjadi fenomena La Nina. Sehingga kondisi tersebut perlu kita antisipasi,” ujar Kepala BB-TMC, Jon Arifian, kepada Greeners, Rabu (21/10/2020).

Penerapan TMC Musim Hujan Lebih Menantang Dari Musim Kemarau

Jon menerangkan pengoperasian TMC untuk mencegah bencana hidrometeorologi yang disebabkan musim hujan dan musim kemarau hampir sama. Perbedaannya, lanjut Jon, yakni menentukan titik penyemaian hujan. Untuk musim kemarau, awan disemai di tempat yang membutuhkan air, sementara musim hujan dipilih lokasi yang bisa menampung hujan.

Dibandingkan dengan pengoperasian TMC pada musim kemarau, Jon mengaku pengoperasian TMC untuk mencegah bencana hidrometeorologi saat musim hujan lebih menantang. BPPT acap kali mengoperasikan TMC untuk mengatasi krisis air saat musim kemarau berkepanjangan. Di musim kemarau, intervensi TMC mendatangkan hujan di tempat-tempat yang kekurangan air atau berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Di lain sisi, saat musim hujan, lanjut Jon, upaya pengoperasian TMC lebih berat. Pasalnya, saat musim hujan terlalu banyak awan yang membawa hujan. Maka dari itu, BPPT harus berupaya maksimal dalam intervensinya guna menurunkan hujan secara prematur.

Selain itu, Jon menambahkan, pengoperasian TMC pada musim kemarau membutuhkan satu hingga dua kali penerbangan untuk menyemai awan. Sedangkan, pada musim hujan dibutuhkan upaya lebih dengan minimal dua armada pesawat terbang dengan ukuran pesawat besar seperti Hercules atau CN295 untuk mengangkut dua sampai empat ton garam untuk menyemai.

“Untuk musim hujan, upaya kita lebih maksimal dan dibutuhkan sumber daya yang cukup untuk menerapkan strategi,” jelas Jon.

Baca juga: Perempuan Adat Tuntut Penerapan Nilai Ekonomi Karbon yang Inklusif

Antisipasi Dampak La Nina, BPPT Atasi Kekurangan Sumber Daya Manusia

Lebih jauh, Jon mengungkapkan TMC menggunakan metode penyemaian awan dengan garam dapur (NaCl). Pengoperasian TMC merupakan kerjasama lintas kementerian dan lembaga lainnya. Kerja sama ini melibatkan BPPT sebagai penyedia teknologi; BMKG sebagai penyedia data dan prediksi cuaca; Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyediakan peralatan seperti pesawat; dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk penganggaran terkait kebencanaan. Menurut pengakuan Jon, kolaborasi antara pihak-pihak tersebut berjalan mulus. Kerja sama ini dia nilai telah menumbuhkan kesadaran akan tugas dan fungsi masing-masing lembaga.

Berdasarkan pengalaman, lanjut Jon, TMC berhasil meminimalisir maupun menambah hujan tergantung kebutuhannya. Dia menyebut intervensi TMC dalam penyemaian hujan bisa bertambah antara 20-35 persen dari total hujan yang turun. Sedangkan, untuk meminimalisir hujan, TMC bisa mengurangi total hujan sebanyak 25-30 persen.

Di sisi lain, tantangan yang dihadapi dalam pengoperasian TMC kebencanaan untuk wilayah Indonesia yang sangat luas adalah minimnya Sumber Daya Manusia (SDM). Kapasitas yang dimiliki saat ini hanya mampu melakukan maksimal empat operasi secara paralel. Jon mengingat, tak jarang  pengoperasian TMC harus bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk menambah jumlah SDM di beberapa wilayah terdampak.

Guna meningkatkan kinerja operasi TMC, BPPT merekrut personil baru dari Aparatur Sipil Negara (ASN) sebanyak 13 orang. Personil anyar ini diharapkan bisa menjadi tenaga baru dalam pengoperasian TMC.

“Mereka secara periodik akan diberikan pelatihan sehingga secepatnya dapat meningkatkan kompetensinya di bidang TMC guna menyesuaikan irama kerja yang kita lakukan dalam operasi TMC ini,” tutupnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top