Jakarta (Greeners) – Dua tahun usai peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon), kinerja pasar karbon di tanah air justru stagnan dan belum menunjukkan geliat yang diharapkan. Nilai transaksi dan partisipasi pasar masih tertinggal jauh dibandingkan dengan skema serupa di tingkat global.
Berdasarkan hasil riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), total transaksi di bursa karbon sejak beroperasi tercatat hanya Rp78 miliar atau US$ 4,9 juta. Operasi ini dengan hanya delapan proyek yang terdaftar dan 132 peserta aktif.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kondisi pasar karbon secara global yang justru sedang berkembang pesat. Bahkan, transaksi karbon termasuk pajak dan sistem perdagangan emisi telah membukukan pendapatan lebih dari US$ 100 miliar pada 2024 mengacu data Bank Dunia.
BACA JUGA: Indonesia Gandeng Jepang Perkuat Kerja Sama Perdagangan Karbon
Sebagai perbandingan, sistem perdagangan karbon Uni Eropa mencakup lebih dari 11 ribu peserta dan menyasar 40% dari total emisi kawasan tersebut. Harga karbon di sana rata-rata mencapai US$ 70/ton CO₂. Sementara di Jepang, pasar karbon yang berlangsung mulai 2024 sudah memiliki 700 peserta. Lalu diproyeksikan akan terus meningkat menyusul rencana mandatori pada 2026.
Research & Engagement Lead, Indonesia Energy Transition IEEFA, Mutya Yustika mengungkapkan bahwa penyebab stagnasi yang terjadi pada pasar karbon dalam negeri adalah penerapan strategi penetapan harga karbon hibrida. Strategi tersebut memadukan sistem cap-and-trade dengan pajak karbon.
“Dalam skema ini, perusahaan yang emisinya melebihi batas harus membeli kredit karbon atau membayar pajak jika kredit tidak tersedia. Namun, batas emisi yang cukup tinggi membuat hanya sedikit PLTU yang melebihi ambang,” kata Mutya dalam keterangan tertulisnya.
Hal tersebut berujung pada minimnya permintaan kredit karbon maupun pungutan pajak karbon. Selain itu, prosedur perdagangan dan sertifikasi yang tumpang tindih antarkementerian menambah ketidakpastian untuk investor dan pelaku usaha.
Reformasi Pasar Karbon
Mutia menilai bahwa kinerja pasar karbon Indonesia kini belum memenuhi harapan. Terutama dibandingkan dengan awal yang menjanjikan pada 2023.
“Di tiga tahun terakhir tersebut, pasar mencatat nilai transaksi sebesar Rp 31 miliar dan volume perdagangan sebesar 494.254 ton CO2 ekuivalen. Namun, setelah momentum awal tersebut, pasar menunjukkan tren yang terus turun,” kata Mutya dalam keterangan tertulisnya.
Salah satu penanda redupnya IDX Carbon adalah penurunan harga karbon rata-rata dari Rp62.533 per ton pada 2023 menjadi Rp55.985 per ton pada Desember 2024. Nilai perdagangannya juga turun menjadi Rp20 miliar, dengan volume perdagangan berkurang menjadi 413.764 ton CO2 ekuivalen dan hanya tiga proyek yang terdaftar.
Padahal, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam perdagangan karbon dan menjadi pemimpin aksi iklim global. Dengan potensi hutan tropis, mangrove dan gambut, Indonesia memiliki ekosistem yang mampu menyerap lebih dari 113 miliar ton CO2. Sehingga dapat memposisikan diri menjadi pemain kunci dalam pasar karbon global. Selain itu, potensi di sektor energi terbarukan juga signifikan, dan diperkirakan dapat mereduksi emisi tahunan hingga 27,5 miliar ton CO2 ekuivalen.
Menurut Mutya, untuk mewujudkan potensi tersebut, Indonesia perlu mereformasi pasar karbon. Indonesia perlu melakukan pembenahan dengan menetapkan batas emisi yang lebih ketat dan progresif. Upaya ini juga perlu didukung oleh tarif pajak karbon yang tegas.
Selain itu, Indonesia juga perlu menyusun regulasi yang transparan dan berstandar internasional. Tujuannya untuk menarik bagi investor global serta melakukan reformasi pasar energi. Hal ini termasuk memberi akses lebih luas bagi sektor swasta untuk mengembangkan energi bersih.
Ia menegaskan bahwa dengan menyeimbangkan prioritas domestik dan melakukan integrasi internasional secara bertahap, Indonesia dapat membuka pendanaan iklim dan meningkatkan ketahanan energi. Indonesia juga berpeluang memposisikan diri sebagai pemimpin regional dalam tata kelola karbon.
Upaya KLH Tingkatkan Pasar Karbon
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) juga terus berupaya untuk meningkatkan pasar karbon. Salah satunya baru-baru ini mereka melakukan kerja sama dengan Gold Standard.
Pada 7 Oktober 2025 keduanya secara resmi meluncurkan panduan nasional dan program percontohan untuk memperkuat implementasi pasar karbon Indonesia. Upaya ini juga sekaligus membuka akses yang lebih luas ke pasar karbon internasional.
Panduan baru ini dirancang sebagai acuan utama bagi proyek karbon di Indonesia untuk yang sudah berjalan maupun yang baru dimulai. Dokumen tersebut mengatur tata cara sertifikasi Gold Standard for Global Goals (GS4GG) sesuai hukum dan regulasi nasional. Selain itu, kerja sama ini juga memastikan bahwa proyek-proyek tersebut dapat terhubung secara kredibel dengan mekanisme perdagangan karbon internasional.
Chief Executive Officer Gold Standard Margaret Kim mengatakan, dokumen panduan dan program percontohan ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memberdayakan para pengembang proyek agar dapat mewujudkan aksi iklim berintegritas tinggi.
“Gold Standard bangga mendukung upaya ini, bekerja sama untuk menyediakan landasan yang kokoh bagi proyek-proyek yang memberikan dampak nyata dan berkelanjutan bagi manusia dan planet ini,” ungkap Margaret.
Dengan terbitnya panduan ini, seluruh pengembang proyek karbon di Indonesia kini juga dapat mengajukan permohonan persetujuan kepada KLH/BPLH. Permohonen tersebut untuk memperoleh sertifikasi GS4GG dan melakukan pencatatan proyeknya ke dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI).
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































