Masifnya Pertambangan Merusak Mata Air di Yogyakarta

Reading time: 2 menit
Ilustrasi pertambangan. Foto: Freepik
Ilustrasi pertambangan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta pada tahun 2025, menunjukkan bahwa pertambangan menjadi salah satu penyebab dari terjadinya krisis lingkungan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Salah satu bentuk krisis lingkungan yang warga rasakan di sekitar wilayah pertambangan adalah kerusakan sumber mata air.

Staf Advokasi Walhi Yogyakarta, Rizki Abiyoga mengatakan sepanjang Februari hingga Maret 2025, Walhi Yogyakarta menginvestigasi 27 titik di Bantul, Kulon Progo, Sleman, dan Gunungkidul. Di Bantul, enam titik menunjukkan penurunan air tanah, memaksa warga memperdalam sumur tiap tahun. Di Kulon Progo, tujuh titik mengalami penurunan muka air tanah dan penurunan kualitas sumber mata air.

Sementara itu, di wilayah Kabupaten Gunungkidul dengan sebaran 10 titik juga terdampak akibat pertambangan.Β  “Ini karena ada sumur warga dengan kedalaman 48 meter dan 50 meter. Setiap tahun warga di sana terus-menerus mengalami penurunan air tanah, juga ada kekeringan jika musim kemarau panjang terjadi,” kata Abiyoga dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/5).

BACA JUGA: Walhi Gugat PLTU Jawa 3, PTUN Tolak karena Belum Ada Dampak Nyata

Selain itu, terdapat pula warga yang mengandalkan PDAM, padahal mereka tidak menghendakinya. Warga tersebut terpaksa menggunakan PDAM sebab tidak ada pilihan lain jika ingin mendapatkan air tanpa bersusah payah.

Kabupaten Sleman dengan sebaran 3 titik juga terdapat sumur warga dengan kedalaman mencapai 13–15 meter. Sudah dua kali dilakukan pendalaman agar mendapatkan kuantitas air yang cukup bagi seluruh warga yang menggunakan sumur tersebut.

“Kondisi-kondisi dilakukannya pendalaman berulang kali dan penurunan kualitas air, seharusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah dari segala level. Sebab, air adalah kebutuhan dasar manusia dan menjadi kesatuan ruang hidup warga,” tambahnya.

Pertambangan Masif

Menurut Abiyoga, industri pertambangan di DIY telah terbukti merusak kuantitas dan kualitas air warga di berbagai daerah. Sejak erupsi Merapi pada tahun 2010, intensitas pertambangan semakin masif terjadi.

“Kendati pada tahun 2021 Gubernur DIY pernah mengeluarkan statement dengan menghendaki adanya pemulihan ekosistem Merapi. Faktanya, statement tersebut tidak diiringi dengan keseriusan pemerintah DIY. Terbukti dari lemahnya pengawasan dan penindakan yang mengakibatkan pertambangan masih masif terjadi di DIY,”

Selain di daerah Merapi, industri ini juga ekspansi ke daerah-daerah lain. Bahkan, menyebar hampir di seluruh kabupaten yang ada di DIY dan Jawa Tengah seperti Klaten dan Magelang.

Ekspansi industri pertambangan ini dapat terindikasikan dengan bertambahnya izin usaha pertambangan (IUP) secara signifikan dan sejalan dengan itu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Merapi juga memilik konsesi di daerah lainnya yang berlindung dibalik kebutuhan pembangunan nasional.

“Hal ini membawa mimpi buruk bagi warga di daerah sekitar industri ekstraktif pertambangan,” tambahnya.

Air Tanah Kian Rusak

Dari hasil investigasi ini, Walhi menyimpulkan bawah dampak pertambangan telah mengakibatkan adanya penurunan air tanah setiap tahun dan merusak kualitas air warga serta mengganggu keseimbangan ruang hidup.

Oleh karena itu, Walhi Yogyakarta mendesak kepada pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi dampak lingkungan hidup di seluruh lokasi pertambangan di DIY.

Mereka juga mendesak pemerintah untuk mendorong korporasi pelaku kerusakan lingkungan untuk melakukan pemulihan lingkungan. Kemudian perlu adanya pengawasan serius pada korporasi yang melakukan pertambangan, serta mempersempit wilayah IUP di DIY.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top