Sungai Brantas Makin Panas, Plankton Kali Brantas Punah

Reading time: 3 menit
Kenaikan suhu menyebabkan punahnya plankton dan ikan di Sungai Brantas. Foto: Ecoton
Kenaikan suhu menyebabkan punahnya plankton dan ikan di Sungai Brantas. Foto: Ecoton

Jakarta (Greeners) – Suhu air Sungai Brantas meningkat selama 20 tahun terakhir. Hal itu  berdasarkan analisis Ecological Observation & Wetlands Conservation (Ecoton). Kenaikan suhu tersebut menyebabkan punahnya plankton dan ikan di Sungai Brantas.

Ketika suhu air sungai naik, pH air akan menurun dan menyebabkan air semakin asam, sehingga kadar oksigen terlarut dalam air ikut menurun. Hal itulah yang mengakibatkan matinya plankton-plankton sensitif yang akhirnya mendorong percepatan kepunahan ikan air tawar.

Plankton merupakan sumber makanan utama bagi banyak organisme akuatik, seperti ikan kecil, krustasea, dan cumi-cumi. Apabila plankton hilang, organisme-organisme ini akan kehilangan sumber makanannya, bahkan populasinya pun akan menurun.

BACA JUGA: Riset Ecoton: Masyarakat Anggap 94,9 % Sungai Tercemar

Gangguan pada rantai makanan akibat hilangnya plankton juga dapat memengaruhi sumber daya makanan manusia. Sebab, ikan dan makanan laut lainnya yang manusia konsumsi bergantung pada plankton sebagai sumber makanannya.

“Data tahun 2019 mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki nomor dua kepunahan ikan tertinggi setelah Filipina. Hal ini salah satunya akibat berkurangnya makanan ikan, yaitu plankton,” ujar Founder Ecoton, Prigi Arisandi lewat keterangan tertulisnya, Rabu (5/6).

Kenaikan suhu menyebabkan punahnya plankton dan ikan di Sungai Brantas. Foto: Ecoton

Kenaikan suhu menyebabkan punahnya plankton dan ikan di Sungai Brantas. Foto: Ecoton

Suhu Sungai Brantas Cenderung Naik

Berdasarkan data penelitian yang Ecoton lakukan dari tahun 1994 sampai tahun 2024, suhu pada air Sungai Brantas pun cenderung naik. Peneliti Perubahan Iklim Ecoton, Tasya Husna mengatakan, suhu air sungai tersebut telah mencapai titik terpanas yang belum pernah terjadi, yaitu 34 derajat Celsius pada tahun 2024. Kemudian, pada tahun 2022 mencapai 31,57 derajat Celsius.

“Padahal, pada periode 1994-2004 suhu terpanas 29,6 derajat Celsius dan periode 2007-2013 suhu terpanasnya 29,45 derajat Celsius,” ungkap Tasya.

Kenaikan suhu itu menjadi penyebab punahnya plankton di Sungai Brantas. Berdasarkan hasil identifikasi plankton (zooplankton dan fitoplankton) oleh tim Ecoton, yakni Rafika Aprilianti bersama rekannya, jenis fitoplankton lebih banyak mereka temukan daripada zooplankton di Sungai Brantas area wilayah Gresik dan Surabaya.

BACA JUGA: Sampah Plastik Sebarkan Mikroalga Laut Beracun

Sebanyak 79,42% plankton yang hidup di sungai tersebut merupakan jenis plankton yang tahan terhadap polutan tinggi, dengan jumlah tiga terbanyak dari golongan fitoplankton meliputi Eunotia sp, Fragilaria sp, dan Oscillatoria sp.

“Jika terlalu banyak fitoplankton, air dapat menjadi keruh dan mempercepat terjadinya blooming algae. Sementara, hanya 20,57% yang merupakan plankton sensitif terhadap pencemaran,” ujar Rafika.

Kualitas Air Sungai Brantas Terus Menurun

Sementara itu, penurunan kualitas air di Sungai Brantas masih terus terjadi. Penurunan itu disebabkan oleh buangan limbah cair oleh industri dan permukiman warga di Sungai Brantas yang tidak terkendali.

Polutan limbah cair itu bisa menyebabkan peningkatan 10 kali lipat sumbangan emisi gas rumah kaca dari sungai ke atmosfer. Itu akan menjadikan bumi semakin panas.

“Pemanasan bumi ini menyebabkan suhu air meningkat, pada gilirannya mendorong kepunahan biota dalam air sungai,” kata Tasya.

Penelitian uji kualitas air yang tim peneliti Ecoton lakukan sepanjang 2024, telah membuktikan bahwa terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu kualitas air Sungai Brantas. Menurut Tasya, pemerintah perlu berupaya menegakkan hukum bagi industri pencemar dan masyarakat yang masih memanfaatkan sungai sebagai tempat sampah.

Tasya menambahkan, pembuangan limbah dari berbagai industri dan aktivitas manusia di sekitar sungai juga menyumbang kandungan karbon dan nitrogen dalam limbah. Ini menyebabkan peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam membentuk gas rumah kaca. Misalnya, karbon dioksida, gas metana, dan dinitrogen oksida.

“Gas-gas yang terbentuk ini akan terlepas dari sungai dan berkumpul di atmosfer yang menyebabkan peningkatan suhu bumi,” tambahnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top