COP2 Swiss, KLHK: Jadikan Merkuri Sejarah Masa Lalu

Reading time: 2 menit
cop2
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati mewakili pemerintah Indonesia dalam The Second Meeting of the Conference of the Parties to the Minamata Convention on Mercury (COP 2). Acara berlangsung pada 19-23 November 2018 di Jenewa, Swiss. Foto: Humas KLHK

Swiss (Greeners) – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menegaskan komitmen Indonesia terkait pengaturan merkuri pada The Second Meeting of the Conference of the Parties to the Minamata Convention on Mercury (COP 2). Pertemuan yang berlangsung pada 19-23 November 2018 di Jenewa, Swiss ini sendiri bertujuan merumuskan strategi tindak lanjut pengelolaan dan penanganan merkuri global.

Berdasarkan keterangan resmi yang diterima Greeners, KLHK yang diwakili oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan bahwa kehadiran KLHK pada pertemuan COP2 Konvensi Minamata adalah untuk menegaskan pada dunia internasional tentang capaian dan kebijakan nasional dalam pengurangan, serta target penghapusan merkuri.

“Kami menjajaki kerjasama bilateral atau regional dalam peningkatan kapasitas dan pembangunan institusi. Indonesia juga mengusulkan kerangka program berbagi pengalaman dan asistensi teknis bagi negara-negara berkembang,” ujar Vivien pada COP2 di Jenewa, Swiss, Senin (19/11/2018).

BACA JUGA: Bahaya Merkuri Mengintai, Pemerintah Waspada 

Data dari Organisasi PBB bidang Lingkungan Hidup, UN Environment, menyatakan bahwa setiap tahun setidaknya 9.000 ton merkuri lepas ke atmosfer, air maupun tanah. Sumber emisi dan lepasan merkuri terbesar berasal dari kegiatan Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), diikuti dengan pembangkit listrik berbahan bakar batubara, produksi non-ferrous metal serta proses produksi semen.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari merkuri juga banyak ditemukan, seperti pada alat kesehatan (termometer), amalgam gigi, baterai, kosmetik, lampu fluorescent, dan lain lain.

Menghadapi permasalahan tersebut, pemerintah Indonesia telah menyusun rencana aksi nasional pengurangan dan penghapusan merkuri pada tahun 2030 serta membentuk komite penelitian dan pemantauan merkuri. Hal ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dari dampak penggunaan merkuri melalui transfer teknologi pengolahan emas dan atau alih mata pencaharian PESK.

Vivien mengatakan bahwa Indonesia mengusulkan skema pendekatan transformasi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini menjadi kunci menyukseskan target pengurangan dan penghapusan merkuri di Indonesia.

Ia juga menyatakan bahwa seluruh masyarakat dunia memiliki kesempatan yang sama dalam mendukung dan membantu tercapainya tujuan Konvensi Minamata. “Hal ini merupakan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menjadi bagian dari upaya internasional dalam menjadikan merkuri sebagai sejarah masa lalu,” tegas Vivien.

BACA JUGA: Setelah Ratifikasi, Pemerintah Siapkan Rencana Aksi Nasional Atasi Merkuri 

Diketahui bahwa negara-negara yang menandatangani dan mengesahkan Konvensi Minamata, termasuk Indonesia, telah sepakat untuk merapatkan barisan mengatur strategi dalam menangani permasalahan akibat merkuri dalam seluruh daur hidupnya. Hingga pertengahan tahun 2018 setidaknya 101 negara telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi ini.

Konvensi Minamata melarang adanya pertambangan primer merkuri, mengatur perdagangan merkuri, membatasi hingga menghapuskan penggunaan merkuri, mengendalikan emisi dan lepasan merkuri serta mendorong pengelolaan limbah mengandung merkuri yang ramah lingkungan.

COP2 sendiri merupakan agenda lanjutan dari Konvensi Minamata tahun 2017, sebagai respon masyarakat internasional termasuk Indonesia menghadapi dampak penggunaan, emisi dan lepasan merkuri terhadap kesehatan manusia dan ke lingkungan hidup.

Penulis: Dewi Purningsih

Top