COP29: Perlindungan Wilayah Adat Harus Jadi Prioritas

Reading time: 3 menit
Indonesia harus memprioritaskan masyarakat adat. Foto: COP29
Indonesia harus memprioritaskan masyarakat adat. Foto: COP29

Jakarta (Greeners) – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim ke-29 atau United Nations Climate Change Conference (COP29) tengah berlangsung pada 11-22 November 2024 di Baku, Azerbaijan. Pemerintah Indonesia diminta untuk menunjukkan komitmennya dalam mengakui dan melindungi wilayah adat di momen COP29.

Pengkampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian mengatakan pemerintah harus menyadari bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan aktor utama dalam mencegah krisis iklim. Ia berharap agar pemerintah Indonesia bisa membahas hal ini dalam agenda COP29.

Saat ini, banyak studi yang menunjukkan bahwa 80 persen keanekaragaman hayati yang masih dalam kondisi baik terdapat di wilayah yang masyarakat adat kelola. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) juga menganalisis bahwa 70 persen hutan dengan tutupan baik di Indonesia berada di wilayah masyarakat adat. Hal ini menegaskan betapa pentingnya perlindungan wilayah adat, yang menjadi kunci utama dalam mendukung penyerapan karbon.

“Hutan-hutan tersisa dalam kondisi baik sekarang itu rakyat yang jaga, baik masyarakat adat ataupun komunitas lokal. Jadi, pengakuan terhadap pengetahuan mereka, keberadaan mereka, dan cara-cara mereka dalam melindungi hutan itu menjadi penting,” kata Uli kepada Greeners lewat sambungan teleponnya, Senin (11/11).

BACA JUGA: Tersisa 17,7 Juta Ha, Wilayah Masyarakat Adat Butuh Pengakuan

Selain itu, Uli juga menekankan pentingnya komitmen pemerintah untuk melindungi ekosistem penting seperti hutan, gambut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Apabila wilayah tersebut tidak terlindungi—baik dari konteks kebijakan dan pengelolaannya—maka perubahan ekosistem ini bisa menjadi kawasan izin. Misalnya, menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bisa mendorong pelepasan emisi karbon dalam jumlah besar dan memperburuk krisis iklim.

Uli juga menekankan bahwa Undang-Undang (UU) yang memproteksi lingkungan hidup, seperti UU Keadilan Iklim, sangat penting dan harus segera pemerintah rencanakan. Walhi, misalnya, terus mendorong agar UU ini dapat terwujud. Selain itu, Uli berharap agar kementerian sektoral lainnya tunduk pada aturan yang menjaga agar suhu bumi tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius.

Ketua Delegasi Indonesia di COP29, Hashim S Djojohadikusumo. Foto: KLH

Ketua Delegasi Indonesia di COP29, Hashim S Djojohadikusumo. Foto: KLH

Perdagangan Karbon Solusi Palsu

Sementara itu, Uli menilai bahwa pemerintah justru belum membawa agenda-agenda tersebut ke dalam pembahasan di COP29. Ketua Delegasi Indonesia di COP29, Hashim S Djojohadikusumo, yang ditunjuk oleh Presiden Prabowo Subianto, justru berencana untuk mempromosikan perdagangan karbon.

Perdagangan karbon merupakan transaksi antara pihak-pihak yang memiliki emisi gas rumah kaca (GRK) lebih tinggi dari batas yang ditetapkan. Pihak yang melampaui batas emisi tersebut membayar sejumlah uang kepada pihak lain yang berhasil mengurangi emisi. Contohnya dengan memanfaatkan hutan atau sumber daya lainnya yang menyerap karbon. Oleh karena itu, kawasan hutan menjadi lokasi utama dalam mekanisme perdagangan ini.

Namun, Uli menilai bahwa perdagangan karbon adalah solusi yang palsu. Ia mengatakan bahwa dengan pendekatan ini, Indonesia kemungkinan besar tidak akan mencapai tujuan pengurangan suhu 1,5 derajat Celsius. Menurutnya, solusi seperti kredit karbon dan teknikalisasi karbon hanya akan menjadi legitimasi bagi sektor industri, seperti tambang yang akan terus melepaskan emisi dalam jumlah besar melalui proyek-proyek penyeimbangan karbon.

“Nah, itu sudah menunjukkan bahwa agenda-agenda utama yang berasal dari masyarakat adat tadi itu yang real ada gitu, tidak  akan menjadi agenda utama pemerintah. Justru perdagangan karbon akan semakin merugikan kehidupan masyarakat adat, yang justru menjadi penjaga hutan yang penting bagi penyerapan karbon,” tambah Uli.

Prioritaskan Masyarakat Adat di COP29

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq juga hadir dalam COP29. Ia menyatakan bahwa kehadirannya di forum ini untuk melihat kerangka operasional perdagangan karbon. Menurutnya, Indonesia berencana untuk segera mendeklarasikan carbon trading setelah kembali dari Baku.

“Jadi, kami sudah menyampaikan ke bapak presiden bahwa sepulang dari Baku, kami akan mendeklarasikan untuk Indonesia carbon trading. Kami dengan ibu dirjen juga menyiapkan segala sesuatunya,” ungkapnya.

Menteri Hanif pun menyebutkan akan berupaya menyelesaikan hambatan-hambatan yang muncul dalam setiap Konferensi Perubahan Iklim sebelumnya.

“Ada strategi yang kami susun dan sudah kami sampaikan ke bapak presiden. Pak Hashim Djojohadikusumo akan menjelaskan kepada kami terkait dengan potensi perdagangan karbon Indonesia,” imbuhnya.

BACA JUGA: Hari Masyarakat Adat Sedunia: Pandemi Tegaskan Resiliensi Masyarakat Adat

Namun, Uli menilai bahwa forum-forum internasional, termasuk COP29, belum bisa menghasilkan solusi konkret untuk mengatasi krisis iklim. Salah satu alasan utamanya adalah kurangnya pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai bagian penting dari solusi perubahan iklim. Praktik-praktik lokal yang telah terbukti efektif dalam menjaga ekosistem tidak menjadi prioritas dalam pembicaraan iklim di forum internasional.

Uli berharap, ke depannya suara dan praktik masyarakat adat serta komunitas lokal harus menjadi prioritas dalam solusi perubahan iklim. Pada forum-forum internasional, mereka harus menjadi referensi utama dalam menangani krisis iklim. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia saja, melainkan juga untuk masyarakat adat di negara-negara lain. Kemudian, para delegasi juga sudah seharusnya tidak hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan dari krisis iklim ini.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top