Tersisa 17,7 Juta Ha, Wilayah Masyarakat Adat Butuh Pengakuan

Reading time: 2 menit
Masyarakat Adat
Masyarakat adat butuh pengakuan terhadap wilayahnya. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) meliris data terbaru status pengakuan wilayah adat di Indonesia yang bertambah 3,1 juta hektare (ha). Bulan Maret 2022 wilayah masyarakat adat 17,6 juta ha menjadi 20,7 juta ha. Namun masih ada 17,7 Juta ha lahan masyarakat adat yang butuh pengakuan.

BRWA rutin memperbarui data status pengakuan wilayah adat di Indonesia dua kali dalam setahun. Penyampaian status terkini masyarakat adat ini bertepatan dengan peringatan hari internasional masyarakat adat sedunia pada 9 Agustus.

“Dari catatan kami wilayah yang berkontribusi terbesar adalah dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara seluas 2,1 juta ha. Lalu Kabupaten Jayapura, Papua yaitu 0,9 juta ha, sisanya dari daerah lain,” kata Kepala BRWA Kasmita Widodo dalam konferensi pers Status Pengakuan Wilayah adat di Indonesia yang bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Nasional, Selasa (9/8).

Saat ini BRWA telah meregistrasi sebanyak 1.119 peta wilayah adat dengan luas 20,7 juta ha. Adapun peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/ kota.

Sebanyak 189 wilayah adat seluas 3,1 juta ha telah memperoleh pengakuan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) dan surat keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota.

Sementara daerah yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta ha atau 85 %. Itu artinya hanya 15 % wilayah adat yang sudah pemerintah daerah akui.

Kasmita menyebut, saat ini belum ada kerangka hukum dan kebijakan di Indonesia yang mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adat. Selama ini, sambung dia Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat juga masih dalam pembahasan sejak periode 2014-2019 lalu.

Butuh Perda untuk Kuatkan Aturan Masyarakat Adat

Kebijakan terkait masyarakat adat masuk dalam kerangka hukum dan kebijakan daerah melalui peraturan daerah. Ia menyebut, pentingnya komitmen pemda untuk memastikan penguatan kelembagaan, kapasitas, anggaran serta dukungan masyarakat untuk pemetaan dan penyiapan data.

Kasmita menyatakan, ada sejumlah tantangan dalam memperkuat proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di pemerintah daerah. Pertama, pembentukan perda memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi.

Selain membutuhkan waktu yang lama, juga butuh biaya yang sangat mahal, yaitu sekitar Rp 700 juta hingga Rp 1 miliar per tahun. Perda tersebut membutuhkan berbagai aturan turunan dan komitmen kepala daerah. “Jika tidak dibuat aturan turunannya, maka perda tersebut mangkrak tidak dapat dilaksanakan,” imbuhnya.

Kedua, masih sedikit kepala daerah yang memiliki tanggung jawab dan kepemimpinan untuk menyelenggarakan pengakuan kepada mereka. Hal berimplikasi belum adanya kelembagaan di daerah yang memiliki tugas khusus untuk melakukan identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat.

Selain itu, ia menilai masih rendahnya kapasitas kelembagaan dan staf untuk melaksanakan kegiatan teknis terkait penyusunan pedoman pengakuan masyarakat adat. Selanjutnya masih rendahnya dukungan kepada masyarakat adat dalam proses pemetaan partisipatif wilayah adat.

Oleh sebab itu, capaian pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat hasilnya belum menggembirakan. Kasmita menyebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum menerbitkan surat keputusan hutan adat lagi sejak terakhir Presiden serahkan di Danau Toba pada bulan Februari lalu.

“Jadi, capaian hutan adat masih berjumlah 89 hutan adat dengan luas mencapai 75.783 ha. Informasi dari tim BRWA Kalimantan Barat, baru-baru ini KLHK telah melakukan verifikasi teknis terhadap hutan adat di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat,” paparnya.

Hingga saat ini, belum ada informasi terbaru jumlah dan luasan hutan adat yang KLHK tetapkan.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top