Cyanobacteria Sebabkan Kematian Ratusan Gajah di Botswana

Reading time: 2 menit
Gajah
Gajah merupakan hewan yang hidup berkelompok di habitat yang cenderung berada di dekat air. Foto: shutterstock

Jakarta (Greeners) – Ratusan gajah ditemukan mati di rawa Okavango, Botswana, Afrika pada akhir Maret lalu.  Jumlahnya tak main-main, lebih dari 300 gajah  tewas di daerah itu. Botswana sendiri merupakan daerah dengan populasi gajah terbesar di dunia atau rumah bagi 130 ribu satwa.

Fenomena ini juga memunculkan berbagai spekulasi di masyarakat bahwa gajah-gajah tersebut telah diracun. Melansir washingtonpost.com, dugaan itu dibantah dengan temuan investigasi pemerintah Afrika bagian Selatan. Otoritas setempat mengatakan bahwa penyebab kematian gajah adalah Sianobakteri (Cyanobacteria).

Baca juga: Pemakaian Ekstrak Ganja Dinilai Redakan Stres pada Gajah

“Tes terbaru kami telah mendeteksi cyanobacterial neurotoxins (alga biru-hijau) sebagai penyebab kematian (gajah). Ini adalah bakteri yang ditemukan di dalam air,” kata Kepala Petugas Kesehatan Hewan di Departemen Satwa Liar dan Taman Nasional Mmadi Reuben, dalam aljazeera.com.

Pernyataan Reuben didukung oleh pendapat Deputy Director of the Department of Wildlife and National Parks, Cyril Taolo. Ia mengatakan para gajah mati akibat kelainan saraf yang disebabkan oleh tercemarnya sumber air dengan racun cyanobacteria.

Alga hijau-biru

Alga hijau-biru atau Cyanobacteria ditemukan hampir di seluruh habitat air tawar atau laut. Foto: shutterstock

Cyanobacteria sendiri merupakan bakteri beracun yang dapat muncul secara alami di genangan air. Terkadang mereka juga berkembang menjadi alga biru-hijau. Peneliti Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Arief Rachman menjelaskan, Sianobakteri adalah fitoplankton yang mengendalikan siklus nutrien, terutama Nitrogen (N) dan Carbon (C) di perairan. Selain itu, ia juga berperan sebagai produsen primer ekosistem lautan karena kemampuannya untuk berfotosintesis.

Cyanobacteria merupakan bagian penting dari ekosistem, terutama di ekosistem laut lepas. Namun, kalau jumlahnya meledak tidak terkendali, tentu akan menjadi masalah karena menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistemnya. Terlebih jika yang sifatnya merugikan dan atau beracun,” ujar Arief Rachman saat diwawancara Greeners, Rabu, (23/09/2020).

Perkembangan Alga Dipengaruhi Krisis Iklim

Para ilmuwan berpendapat bahwa perubahan iklim mungkin menjadi salah satu faktor terjadinya insiden toxic blooms ini. Dampak peningkatan suhu membuat diketahui sesuai dengan bakteri yang menyukai air hangat. Selain itu, krisis iklim juga turut andil dalam meningkatkan pertumbuhan alga berbahaya. Bakteri ini pun diketahui menyukai air hangat.

“Kenaikan suhu, perubahan pH air, ditambah dengan meningkatnya input nutrien (hara) ke perairan akibat kegiatan manusia, akan memicu meluasnya dampak dari Marak Alga Berbahaya atau Harmful Algal Blooms (HABs) yang diakibatkan oleh Cyanobacteria. Dampaknya akan mirip efek domino ke perairan yang pada akhirnya menyebabkan kondisi perairan semakin buruk,” ucap Arief.

Baca juga: Mikroalga, Alga Berklorofil dengan Ukuran Mikroskopis

Melihat perubahan iklim sebagai salah satu faktor, dan bagaimana seluruh pelosok Bumi menghadapi hal ini, bukan tidak mungkin peristiwa yang sama dapat terjadi di Indonesia. “Fenomena ‘blooming’ yang diakibatkan oleh spesies cyanobacteria memang ditemukan di beberapa pesisir di Indonesia. Tapi untuk toxic cyanobacterial bloom di perairan pesisir, sejauh ini belum ada laporan,” kata dia.

Penulis: Ida Ayu Putu Wiena Vedasari

Top