Mencair, Sepertiga Gletser Warisan Dunia Bisa Lenyap Tahun 2050

Reading time: 2 menit
Penampakan mencairnya gletser di Papua. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Dampak perubahan iklim menyebabkan sepertiga gletser dalam situs Warisan Dunia, termasuk di Papua, hingga gletser di Kilimanjaro akan lenyap pada tahun 2050. Hal ini terungkap dari laporan terbaru penelitian UNESCO bersama Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Berdasarkan studi tersebut, sebanyak 58 miliar ton es hilang tiap tahun atau setara penggunaan air tahunan di Perancis dan Spanyol. Imbasnya, hampir lima persen terjadi kenaikan permukaan laut global. Sejak tahun 2000 gletser-gletser ini mengalami kecepatan pengikisan akibat emisi karbon dioksida (CO2) yang warga dunia hasilkan.

Laporan tersebut menyebut masih adanya harapan untuk menyelamatkan dua pertiga gletser lainnya.

“Laporan ini adalah ajakan untuk bertindak. Hanya pengurangan cepat dalam tingkat emisi CO2 kita yang dapat menyelamatkan gletser dan keanekaragaman hayati yang bergantung padanya,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay dalam keterangannya.

Permasalahannya, mencairnya gletser menjadi hal serius. Tak sekadar menghilangnya lanskap hamparan gunung es. Akan tetapi mengancam kehidupan masyarakat berupa longsoran salju hingga banjir.

Misalnya, pada Juli 2022, gletser di Pegunungan Alpen Italia runtuh hingga memicu longsoran salju menewaskan sekitar 11 pendaki. Insiden tragis ini akan terjadi lagi bila semua gletser diperkirakan akan hilang pada tahun 2050.

Ancaman Krisis Pangan

Tak hanya itu, hilangnya gletser memicu ancaman pangan. Sekitar 50 persen umat manusia bergantung baik secara langsung maupun tidak pada es raksasa ini. Pasalnya, gletser merupakan sumber air untuk keperluan pertanian, pembangkit listrik, hingga keperluan rumah tangga.

Sekitar 18.600 gletser yang telah teridentifikasi pada 50 situs warisan dunia, mencakup 66.000 km2. Bongkahan es raksasa ini mewakili hampir 10 persen gletser di muka bumi dan termasuk tempat-tempat wisata terkenal. “Gletser adalah satu indikator perubahan iklim yang berharga, karena ada wujudnya,” ucap Audrey.

Laporan terbaru dari UNESCO dan IUCN ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berinvestasi dalam solusi berbasis alam. Membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat praindustri merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan dua pertiga dari gletser ini.

Gletser Kilimanjaro. Foto: Istock

Tingkatkan Target NDC Cegah Mencairnya Gletser

Merespon hal ini, Ketua Kebijakan Keenergian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Retno Gumilang Dewi menyatakan, salah satu indikator kenaikan temperatur global ditandai dengan mencairnya gletser di antartika dan berbagai pegunungan di dunia.

Guna menahan pemanasan suhu bumi hingga 1,5 Celcius khususnya pada tahun 2030, ia mendorong berbagai negara untuk menaikkan komitmennya dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Perjanjian Paris 2015 lalu menyepakati pembuatan NDC. Komitmen kontribusi nasional tiap negara ini harus ditingkatkan. “Jika berbagai negara di dunia hanya mengikuti target NDC yang telah mereka sampaikan kepada UNFCCC diperkirakan akan masih terjadi kenaikan temperatur hingga 2,4 Celcius di pertengahan abad ini,” ungkap Retno.

Indonesia dalam NDC terbarunya meningkatkan target menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 % dengan upaya sendiri. Lalu sebesar 43,20 % jika mendapat dukungan dari internasional.

Ia juga menyatakan pentingnya aksi-aksi mitigasi melalui keterlibatan aktif masyarakat dan pemerintah daerah. Misalnya hemat energi, reduksi sampah dari sumbernya, memastikan tata kota lebih baik dengan infrastruktur yang hemat energi. Selain itu penggunaan kendaraan listrik rendah karbon dengan menggunakan energi terbarukan.

Pengamat lingkungan dari Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa berpendapat, mencairnya gletser di pegunungan dunia berdampak buruk pada ekosistem di sekitarnya.

“Seluruh ekosistem baik di pegunungan, darat maupun di laut, flora dan fauna akan terdampak hingga memicu kepunahan,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top