Dieng Frost, Kondisi Embun Beku Dieng Adalah Fenomena Normal

Reading time: 2 menit
Foto : Sampetono MPA BBTNBTS

Jakarta (Greeners) – Kondisi suhu dingin, menyebabkan terjadinya fenomena embun beku di wilayah dataran tinggi Dieng dalam beberapa waktu belakangan ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan kejadian kondisi suhu dingin tersebut merupakan fenomena yang normal.

Deputi Bidang Meteorologi Drs. R. Mulyono R. Prabowo, M.Sc mengatakan beberapa hari terakhir suhu udara di sebagian wilayah Indonesia selatan ekuator, khususnya di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara, cukup dingin dan mengalami penurunan suhu signifikan pada malam hari.

Secara umum, kondisi suhu dingin ini terjadi sebagai akibat dari adanya aliran massa udara dingin dan kering dari wilayah benua Australia yang dikenal dengan aliran monsun dingin Australia.

“Secara klimatologis, monsun dingin Australia aktif pada periode bulan Juni-Juni-Agustus, yang umumnya merupakan periode puncak Musim Kemarau di wilayah Indonesia selatan ekuator. Desakan aliran udara kering dan dingin dari Australia ini menyebabkan kondisi udara yang relatif lebih dingin, terutama pada malam hari dan dapat dirasakan lebih signifikan di wilayah dataran tinggi atau pegunungan,” ujar Mulyono melalui keterangan resminya pada Rabu (26/06/2019).

BACA JUGA : Paleoclimate, Memahami Fenomena Iklim di Masa Lampau

Monsun sendiri di Indonesia terjadi setiap tahun, namun ada yang membuat Monsun berbeda pada tahun ini dan menyebabkan dingin yang sangat kuat.

Mulyono mengatakan, kondisi musim kemarau dengan cuaca cerah dan atmosfer dengan tutupan awan sedikit di sekitar wilayah Jawa-Nusa Tenggara, dapat memaksimalkan pancaran panas bumi ke atmosfer pada malam hari, sehingga suhu permukaan bumi akan lebih rendah dan lebih dingin dari biasanya.

“Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi saat musim hujan atau peralihan, dimana kandungan uap air di atmosfer cukup banyak karena banyaknya pertumbuhan awan, atmosfer menjadi semacam “reservoir panas” sehingga suhu udara permukaan bumi lebih hangat,” kata Mulyono.

Berdasarkan data pengamatan BMKG, selama sepekan ini suhu udara lebih rendah dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah seperti di Frans Sales Lega (NTT) dan Tretes (Pasuruan), suhu udara rendah terukur di Frans Sales Lega (NTT) hingga 9.2 derajat Celcius pada tanggal 15 Juni 2019.

Mulyono melanjutkan, kondisi suhu dingin tersebut akan lebih terasa dampaknya seperti di wilayah dataran tinggi Dieng (Jawa Tengah) ataupun daerah pegunungan lainnya dimana pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan terbentuknya embun beku atau frost, seperti yang juga terjadi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.

BACA JUGA : Perubahan Iklim Pengaruhi Ketersediaan Pakan dan Populasi Burung

“Diprediksikan potensi kondisi suhu dingin seperti ini masih dapat berlangsung selama periode puncak musim kemarau, Juni-Juli-Agustus, terutama di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara,” ujar Mulyono.

Selain itu, Kepala Bidang Perubahan Iklim BMKG Kadarsah mengatakan kejadian suhu rendah sampai mengakibatkan pembekuan ini juga pernah terjadi sebelumnya pada 14-21 Juni 2011 di 6 derajat celcius akibat letusan kawah timbang di Dieng.

Kadarsah mengatakan jika merujuk pada data suhu cuaca di sekitar wilayah Dieng cuaca terendah yang dialami saat ini terjadi pada tanggal 20 Juni yakni 4,5 derajat celcius.

“Laju penurunan suhu setiap naik 100 meter adalah 0.65 derajat celcius. Ketinggian Dieng 2093 mdpl. Ketinggian AWS Tambi Wonosobo adalah 1370 mdpl. Ketinggian AWS Pandanarum Banjarnegara adalah 635 mdpl. Suhu minimum terendah AWS Pandanarum terjadi pada tanggal 20 Juni 2019 jam 23.00 WIB yaitu 14 derajat celcius dengan lapse rate 0.65 derajat celcius per 100 meter maka suhu udara di wilayah ketinggian Dieng diperkirakan sekitar 4.5 derajat celcius,” jelas Kadarsah.

Kadarsah menekankan bahwa masa akhir untuk suhu rendah di wilayah Dieng ini terjadi saat angin muson timur dari australia berakhir. 

Penulis: Dewi Purningsih

 

Top