ICEL Minta KLHK Merevisi Kebijakan Pembuangan Air Limbah PLTU Batu Bara

Reading time: 2 menit
pembuangan air limbah
Ilustrasi. Foto: flickr.com/photos/usepagov

Jakarta (Greeners) – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyatakan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 8 Tahun 2009 belum sempurna karena didalamnya belum tercantum aturan tentang Baku Mutu Air Limbah (BMAL) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara terhadap air laut. Menurut analisis Lembaga riset ini sangat diperlukan adanya tambahan peraturan untuk BMAL di laut karena 82% PLTU Batu bara berada di daerah pesisir.

Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim ICEL Angela Vania mengatakan Indonesia tidak memiliki peraturan baku mutu air limbah PLTU Batu bara yang dibuang ke laut sehingga potensi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan laut atas kegiatan pada unit pembangkit sangat besar. Menurut Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 sebanyak 82% atau 44.047 Mega Watt (MW) akan dihasilkan dari pembakaran batu bara.

“Penguatan kebijakan melalui pembentukan peraturan khusus pembuangan air limbah PLTU Batu bara harus segera dilakukan. Tidak adanya BMAL PLTU Batu bara yang dibuang ke laut mengakibatkan tidak adanya jaminan perlindungan ekosistem pesisir dan laut. Bagaimana mungkin Indonesia akan membangun 19.611 MW PLTU Batu bara yang baru dan 24.435,96 MW PLTU Batu bara yang sekarang beroperasi di daerah pesisir sementara aturan pencegahan yang ada saat ini tidak tepat sasaran, sangat longgar dan saling bertolak belakang?” kata Vania saat dihubungi oleh Greeners, Rabu (05/12/2018).

BACA JUGA: Brown to Green Report 2018: Indonesia Semakin Jauh dari Target Kesepakatan Paris 

Analisis yang dilakukan ICEL mengungkapkan landasan utama pencegahan dampak pencemaran air limbah yakni Permen LH Nomor 8 Tahun 2009 hanyalah turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. PP tersebut tidak mengatur terkait air laut sehingga Permen LH No. 8/2009 tidak dapat digunakan sebagai acuan baku mutu air limbah PLTU Batu bara yang dibuang ke laut.

Vania mengatakan, baku mutu suhu limbah bahang (hawa panas) pada Permen LH No.8/2009 memperbolehkan kenaikan suhu hingga 400C ketika dibuang ke badan air penerima limbah sedangkan suhu rata-rata air laut di Indonesia adalah 29,50 C. Menurut Vania, kenaikan suhu air laut seharusnya tidak lebih dari 31,50C karena bisa menyebabkan kematian organisme laut, mengganggu pola distribusi beberapa jenis organisme laut, menghambat metabolisme dan menghambat fotosintesis.

Permen LH No. 8/2009 juga dinilai tidak menetapkan baku mutu air lindi untuk sumber kegiatan di tempat penyimpanan dan penimbunan abu batu bara. Air lindi dari abu batu bara sangat berbahaya karena mengandung logam berat yang berpotensi mencemari ekosistem laut.

“Selain itu ada beberapa PLTU Batu bara pada bulan-bulan tertentu melampaui parameter baku mutu mereka yang sudah ditetapkan di izin Permen LH No 8/2009,” ujar Vania.

BACA JUGA: Menteri LHK Tetapkan SK Daya Tampung Beban Pencemaran pada Sungai 

Berbeda dengan Vania, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Karliansyah menyatakan bahwa tidak perlu lagi untuk membuat peraturan baru karena aturan terkait air limbah sudah ada dalam Permen LH No. 8/2009. Permen tersebut telah mengatur batas maksimum kualitas air limbah dari pembangkit thermal yang boleh dibuang ke lingkungan.

“Sepanjang air limbah prosesnya diolah sampai memenuhi baku mutu yang berlaku, maka dengan izin air hasil olahannya boleh dibuang ke laut. (Pembuangan air limbah ini) juga harus didukung dengan kajian lingkungan pembuangan air limbah tersebut ke laut,” ujar Karliansyah saat dihubungi Greeners melalui pesan singkat pada Rabu (05/12/2018).

Lebih lanjut Karliansyah menjelaskan bahwa kajian pembuangan air limbah ke laut ini termasuk mengkaji daya dukung dan daya tampung lingkungan laut di sekitar lokasi rencana pembuangan. “Semuanya sudah diatur dalam izin. Kalau perusahaan tidak bisa memenuhi ketentuan perizinan jangan diberikan izin. Pelanggaran terhadap ketentuan izin bisa dipidanakan,” kata Karliansyah.

Penulis: Dewi Purningsih

Top