PP Carbon Capture Dinilai Mengaburkan Transisi Energi Indonesia

Reading time: 2 menit
Ilustrasi transisi energi. Foto: Freepik
Ilustrasi transisi energi. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Perpres Carbon Capture and Storage (Perpres CCS) resmi disahkan, Selasa (30/1). Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)  menilai, Perpres CCS masih minim kerangka pengaman dan mengaburkan masa depan transisi energi Indonesia.

“Saat ini Indonesia masih belum memiliki peta jalan yang jelas terkait pemensiunan PLTU batubara. Regulasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar,” ungkap Deputi Direktur ICEL, Grita Anindarini lewat keterangan tertulisnya, Rabu (31/1).

BACA JUGA: ICEL Gandeng 9 Universitas Kembangkan Hukum Perubahan Iklim

Grita menambahkan, perpres ini berpotensi mengaburkan masa depan transisi energi Indonesia. Sebab, akan memperpanjang umur bahan bakar fosil, termasuk melalui penggunaan gas yang bukan merupakan jawaban dari transisi energi.

Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. ICEL juga berpendapat bahwa mendorong CCS tanpa peta jalan yang jelas terkait pemensiunan energi fosil–khususnya PLTU batu bara–justru mengaburkan masa depan transisi energi Indonesia.

Ilustrasi transisi energi. Foto: Freepik

Ilustrasi transisi energi. Foto: Freepik

CCS Mempersempit Pengembangan Energi Terbarukan

Menurut ICEL, penggunaan CCS akan berfokus pada kegiatan hulu minyak dan gas bumi. Selain itu, CCS juga berpotensi membuka keran penggunaan minyak dan gas bumi sebagai alternatif batu bara. Hal itu dapat mempersempit ruang bagi pengembangan energi terbarukan dan bertentangan dengan semangat transisi menuju energi bersih dan berkeadilan.

“Bahkan, perpres ini mengakui adanya kemungkinan dampak CCS pada kerusakan lingkungan, bahaya terhadap manusia, hingga kontaminasi air tanah,” tambah Grita.

Sementara itu, penyusunan Perpres CCS juga telah menjadi perhatian banyak kalangan. Sebab, CCS kerap dianggap memegang peranan strategis dalam transisi energi. Namun, tingginya risiko lingkungan, termasuk pembelajaran dari negara lain, terus menjadi perhatian.

ICEL Kritisi Perpres CCS

ICEL juga mengkritisi Perpres CCS yang baru saja terbit. Pertama, menurut ICEL, penerapan CCS belum memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Prinsip ini mengharuskan pembuktian bahwa CCS memiliki dampak yang sangat minim terhadap kesehatan, keselamatan manusia, dan lingkungan hidup untuk dapat beroperasi.

Selanjutnya, penerapan CCS masih belum memiliki langkah strategis untuk pemulihan lingkungan jika risiko lingkungan terjadi. Regulasi memang telah mewajibkan kontraktor dan pemegang izin operasi penyimpanan untuk monitoring dalam jangka waktu 10 tahun pasca penutupan CCS. Namun, risiko dan bahaya lingkungan tetap dapat terjadi di luar jangka waktu tersebut.

BACA JUGA: ICEL Nilai Perlindungan Lingkungan Hidup Berpotensi Melemah

“Perpres ini memang mengatur penempatan dana jaminan pelaksanaan operasi penyimpanan karbon, jaminan pasca operasi, serta dana jaminan monitoring. Namun, jika dicermati, dana jaminan tersebut untuk perbaikan kejadian selama operasi, biaya untuk penutupan kegiatan CCS dan monitoring dalam jangka waktu 10 tahun pasca penutupan CCS,” imbuh Peneliti ICEL, Syaharani.

Syaharani menambahkan, hal ini tentunya belum cukup. Sebab, risiko CCS ini berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang.

“Kami juga mempertanyakan, jika risiko ini terjadi di luar waktu tersebut, mekanisme pertanggungjawaban dan pemulihan seperti apa yang akan dibangun?” ungkapnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top